Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Taman Kota Seruni selalu tenang. Pohon-pohon besar berbaris rapi di tepi jalan setapak. Daun-daunnya sering berguguran, ditiup angin sore yang sejuk. Di tengah taman ada sebuah danau buatan. Airnya tidak deras, tapi cukup dalam dan tenang. Langit senja sering memantul di permukaannya, membuat siapa pun yang melihat jadi ikut diam.
Di dekat danau itu, ada deretan bangku taman. Salah satunya, bangku besi berwarna hijau tua dengan angka 7 kecil yang tertulis di pinggir. Mia selalu duduk di sana, setiap hari, tepat pukul lima sore. Ia membawa buku tua yang selalu terbuka di halaman yang sama, sebuah termos teh melati, dan dua potong roti isi keju. Salah satunya tidak pernah disentuh. Dibiarkan begitu saja di atas tisu.
Mia tidak benar-benar membaca bukunya. Ia hanya menatap halaman yang sama, seolah ada sesuatu yang tertinggal di sana. Tangannya sering menggenggam cangkir teh yang hangat, sementara matanya terpaku ke danau. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia seperti sedang menunggu, walau tidak tau siapa yang akan datang.
Tiga tahun lalu, Mia kehilangan Arga, tunangannya. Mereka merencanakan pernikahan, menghitung hari. Tapi Arga pergi terlalu cepat. Kecelakaan itu terjadi saat ia menyeberang jalan untuk mengambil pesanan kue pernikahan mereka. Mia menerima telepon dari orang tak dikenal, lalu datang suara sirene dan kabar bahwa Arga tidak bisa diselamatkan.
Sejak itu, Mia selalu duduk di kursi nomor 7. Di sanalah mereka terakhir duduk berdua. Arga pernah berkata, “Kalau kita sudah tua nanti, datanglah ke sini setiap sore. Di kursi ini. Kita bisa mengingat segalanya” Tapi yang datang hanya Mia, sendiri. Hari demi hari, ia mencoba menerima kehilangan itu, walau rasanya tidak pernah benar-benar hilang.
Suatu sore, ketika angin bertiup agak kencang dan langit mulai memerah, seseorang memanggil pelan dari sampingnya.
“Permisi. Apakah saya boleh duduk di sini?”
Mia menoleh. Seorang anak laki-laki berdiri dengan ransel besar di punggungnya. Wajahnya tampak lelah tapi sopan.
“Tentu saja. Silakan duduk” jawab Mia, sedikit terkejut.
Anak itu duduk perlahan. Mereka tidak langsung bicara. Mia tetap menatap danau, dan anak itu membuka bekalnya. Roti isi yang sedikit penyok dikeluarkan dari plastik.
“Namamu siapa?” tanya Mia pelan, memecah keheningan.
“Nama saya Bami” jawabnya. “Saya duduk di sini karena ibu saya biasanya duduk di kursi ini. Tapi sekarang beliau tidak bisa keluar rumah”
“Ibumu pernah duduk di sini?” tanya Mia, sedikit heran.
Bami mengangguk. “Beliau bilang tempat ini tenang. Katanya, selalu ada seseorang yang sedang menunggu di sini. Saya tidak tau maksudnya apa”
Mia menatapnya lebih lama. Ucapan Bami terdengar sangat mirip dengan apa yang selalu ia rasakan.
“Aku Mia” katanya. “Senang berkenalan denganmu”
Bami membuka bekalnya dan mengangkat dua potong roti. “Saya membawa dua. Satu untuk saya, satu lagi untuk Ibu. Tapi sepertinya beliau tidak bisa memakannya”
Mia tersenyum kecil. “Kebetulan saya juga membawa dua. Mau tukar?”
Bami mengangguk semangat. Mereka bertukar roti dan mulai makan pelan-pelan, sambil duduk diam memandangi danau. Hari berikutnya, Mia kembali ke kursi itu seperti biasa. Ia tidak terlalu berharap Bami akan datang lagi. Tapi lima menit setelah ia duduk, Bami muncul, berlari kecil dengan nafas terengah.
“Maaf saya terlambat” katanya. “Tadi saya bantu Ibu menyiapkan makan malam dulu”
“Tidak apa-apa” jawab Mia. “Saya juga baru duduk sebentar”
Sejak hari itu, mereka sering bertemu di kursi nomor 7. Tidak setiap hari, tapi cukup sering untuk membuat tempat itu tidak lagi terasa sepi. Bami sering membawa cerita tentang ibunya yang sedang sakit dan tinggal di rumah. Ibu Bami dulunya seorang guru Bahasa Indonesia dan senang menulis puisi. Tapi sejak jatuh sakit, ia berhenti menulis.
“Saya suka duduk di sini karena rasanya seperti dekat dengan Ibu” kata Bami suatu sore. “Dan Ibu bilang, kalau saya ingin tau bagaimana rasanya menunggu, saya harus duduk di kursi ini”
Mia tersenyum mendengarnya. “Apa kamu tau artinya menunggu, Bami?”
Bami berpikir sejenak. “Mungkin menunggu itu seperti berharap seseorang datang, walaupun belum tentu benar-benar datang”
“Jawaban yang cukup dalam untuk anak seusiamu” kata Mia.
Bami tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu mengeluarkan dua kotak kecil berisi agar-agar stroberi.
“Ini buatan Ibu. Saya bawa dua. Satu untuk saya, satu untuk Kak Mia”
Mia menerima agar-agar itu dengan hati yang hangat. Sudah lama sekali ada yang membawakannya sesuatu dengan niat tulus. Hari-hari mereka berjalan sederhana. Bami sering bertanya soal buku yang dibawa Mia. Kadang Mia membacakan sedikit cerita, atau menjelaskan makna kutipan yang tertulis di halaman depan. Mereka berbicara tentang sekolah, makanan, dan puisi. Mia tidak lagi hanya datang untuk mengenang Arga, tapi juga untuk menemani Bami.
Suatu sore, Bami datang dengan membawa secarik kertas.
“Ibu menulis ini semalam. Beliau bilang ini harus saya bacakan untuk Kak Mia” katanya, menyerahkan kertas itu.
Mia membuka lipatannya dan mulai membaca:
Jika kau duduk di bangku nomor tujuh,
Dan waktu terasa berjalan lambat,
Ketahuilah, ada rindu yang ikut duduk di sana, mengikat sunyi menjadi harapan.
Air mata Mia menetes perlahan. Kata-kata itu terlalu tepat. Ia menatap Bami.
“Ibumu menulis ini untukku?”
“Iya. Kata beliau, Kak Mia adalah seseorang yang sedang berusaha berdamai dengan kehilangan. Dan itu bukan hal yang mudah”
Mia menggenggam tangan Bami. Ia tidak tau harus berkata apa. Tapi hatinya terasa lebih ringan dari biasanya. Beberapa hari kemudian, Bami tidak datang. Mia tetap menunggu di kursi nomor 7. Hari berikutnya pun sama. Lalu hari-hari setelahnya. Mia mulai khawatir. Ia ingin tau kabar Bami, tapi ia tidak tau harus ke mana mencarinya. Ia hanya bisa menunggu.
Seminggu kemudian, Bami datang. Wajahnya berbeda. Lebih pucat, lebih diam.
“Ibu saya meninggal tiga hari lalu” katanya perlahan.
Mia terdiam. Ia tidak berkata apa-apa, hanya membuka lengannya dan memeluk Bami erat.
“Sebelum meninggal, Ibu berpesan bahwa saya harus tetap datang ke taman. Duduk di kursi nomor 7. Karena katanya, tempat ini akan menjadi tempat yang menyembuhkan” ujar Bami.
“Dan kamu percaya itu?” tanya Mia.
“Saya tidak tau. Tapi saya merasa lebih tenang di sini”
Mia menatap danau, lalu menoleh pada Bami. “Aku juga merasa begitu. Mungkin karena kursi ini sudah menyimpan banyak cerita”
Bami mengangguk pelan. “Ibu juga berkata, kadang-kadang kita duduk bukan untuk menunggu seseorang kembali, tapi untuk belajar menerima bahwa mereka sudah pergi. Dan jika suatu hari kursi itu diduduki oleh seseorang yang membawa ketulusan, maka kursi itu akan menjadi tempat baru untuk harapan, bukan hanya kenangan
Air mata Mia mengalir lagi. Tapi kali ini, ia tidak merasa hancur. Ia merasa pulih.
Sejak hari itu, Mia dan Bami tetap bertemu di kursi nomor 7. Mereka membaca buku, berbagi makanan, bercerita tentang hari-hari mereka. Mia mulai menulis lagi. Kadang ia menuliskan cerita pendek, kadang puisi. Bami sering membantu memberi ide, atau sekadar mendengarkan.
Mia tidak lagi duduk untuk menunggu Arga. Ia duduk untuk mengenang, lalu melanjutkan hidup. Ia tau, cinta yang tulus tidak akan hilang meskipun orangnya sudah pergi. Dan Bami, anak laki-laki yang datang dengan cerita dan roti, telah mengajarkan banyak hal tentang bertahan, menerima, dan memberi arti baru pada sebuah bangku tua.
Taman Kota Seruni tetap tenang seperti biasa. Danau masih memantulkan langit. Tapi bagi Mia, tempat itu bukan hanya tempat menunggu. Ia adalah tempat di mana kesedihan perlahan berubah menjadi kekuatan, dan kenangan tidak lagi membuatnya sendiri.