Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Sejak kehilangan ibunya di usia tujuh tahun, Aira tumbuh dalam kesunyian yang tak pernah benar-benar ia pahami. Ayahnya menjadi pendiam, pekerja keras, dan pelit bicara. Bukan karena ia jahat, melainkan karena dunia telah terlalu kejam padanya. Dan tanpa Aira sadari, beban demi beban terus menumpuk di punggung sang ayah—termasuk beban hutang.
Semasa kecil, Aira memiliki dua teman yang selalu hadir dalam kesehariannya. Ilham, putra kepala desa, yang tak henti menggoda dan mengganggunya. Dan Reza, kakak kelas yang selalu menjadi perisai saat Ilham terlalu berlebihan. Reza bukan sekadar pelindung, ia adalah tempat berpulang yang diam-diam mengisi ruang hati Aira. Sayangnya, Reza hanya bisa Aira sebut sebagai “kakak.”
Waktu berlalu. Reza berangkat kuliah ke luar negeri. Ilham tumbuh menjadi pemuda yang lebih terstruktur, tampak sopan dan penuh ambisi. Aira sendiri berhasil menjadi dokter muda—gelar yang belum pernah disandang perempuan mana pun di desanya. Tetapi tak satu pun pencapaiannya mampu menyelamatkan ayahnya dari jeratan hutang lama yang mulai menagih.
Satu sore yang muram, ayah Aira mengaku bahwa ia telah meminjam uang dari Pak Dipa—ayah Ilham. Jumlahnya seratus juta rupiah, digunakan untuk biaya kuliah dan perawatan kesehatan. Kini, saat pembayaran ditagih, Pak Dipa tidak menuntut uang, melainkan pernikahan.
“Ayah tak bisa bayar. Satu-satunya syarat pelunasan… kau harus menikah dengan Ilham,” ucapnya lirih.
Aira membeku. Dunia terasa berguncang, namun dalam benaknya hanya ada satu pikiran: ia tidak sanggup melihat ayahnya dihancurkan karena dirinya.
“Ayah… tidak ada cara lain?” suaranya nyaris tak terdengar.
Tatapan ayahnya kosong, seperti sudah lama menyerah.
“Ini satu-satunya pilihan. Ayah lelah, Aira. Hidup sudah terlalu lama menggigit kita.”
Aira tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, dan malam itu ia menangis dalam diam, seperti masa kecilnya saat kehilangan ibu. Tak ada tangan yang mengusap air matanya. Hanya bantal yang basah dan dada yang sesak.
—
Lamaran itu berlangsung dengan mewah. Ilham tampil penuh percaya diri, dan Aira… hanya diam. Senyumnya dibuat-buat, dadanya sesak oleh keputusan yang bukan berasal dari kehendaknya sendiri. Masyarakat memuji betapa beruntungnya Ilham memiliki calon istri seperti Aira—dokter pertama desa, perempuan cerdas yang akan mendongkrak citranya dalam pencalonan kepala desa tahun depan.
“Cocok sekali mereka, ya. Ilham dan Aira—pemuda berwibawa dan dokter muda. Pasangan masa depan!” kata seorang ibu dengan suara lantang, membuat yang lain mengangguk-angguk.
Aira hanya menunduk. Bahkan saat cincin melingkar di jari manisnya, ia tak merasakan apa-apa selain dingin.
Hari-hari berikutnya terasa seperti lorong sempit yang semakin gelap. Hingga suatu hari, seorang perempuan datang menemuinya di ruang praktik.
“Saya… dulu menjalin hubungan dengan Ilham. Ia berjanji menikahi saya, tapi menghilang saat tahu saya mengandung,” ujarnya dengan suara serak. Perempuan itu hamil besar, wajahnya pucat, dan matanya sembab.
Aira menatap perempuan itu, nyaris tak percaya. Tetapi perempuan itu menunjukkan bukti: pesan-pesan lama, bukti transfer uang, dan satu rekaman suara.
Dengan tangan gemetar, Aira memutar rekaman itu:
—“Tenang saja, anak itu tidak akan jadi masalah. Aira sudah dalam genggaman. Dia percaya aku berubah. Setelah dia jadi istriku, semua akan mudah.”
Dan kemudian terdengar tawa seorang pria lain. Tawa Pak Dipa.
Aira memutar rekaman itu berulang-ulang. Hatinya menolak, tetapi telinganya tak bisa menyangkal. Ini bukan cinta. Ini jebakan.
Malam itu, Aira duduk sendirian di beranda. Angin malam menusuk kulitnya, tapi pikirannya jauh lebih dingin. Ia memeluk lutut, bertanya-tanya—apakah semua ini adalah harga dari menjadi perempuan yang berani bermimpi?
Namun sebelum ia sempat berbuat apa-apa, kabar lamaran itu telah sampai ke telinga seseorang yang selama ini hanya memerhatikannya dari jauh: Reza.
—
“Jadi itu benar… kau akan menikah dengan Ilham?”
Suara itu terdengar tenang, tapi dalamnya ada luka. Aira menoleh pelan. Reza berdiri di hadapannya, lebih dewasa dari terakhir kali ia lihat, namun tetap dengan sorot mata yang sama: penuh keyakinan.
“Lamaran itu sudah terjadi,” jawab Aira perlahan. “Aku tidak bisa melukai Ayah lebih dari ini.”
Reza menatapnya, lama. “Dan kau rela dilukai demi menyelamatkan seseorang yang seharusnya melindungimu?”
Aira terdiam. Angin sore menyibak helaian rambutnya, sementara dadanya seperti diremas.
“Aku tahu siapa Ilham. Dia tidak berubah, Aira. Dia hanya menyamar lebih baik. Apa kau yakin dia akan memperlakukanmu dengan benar?”
“Aku tahu,” ujar Aira, suaranya pecah. “Aku sudah mendengar rekamannya. Dia bahkan meninggalkan perempuan yang sedang mengandung anaknya. Tapi… aku tak tahu harus mulai dari mana untuk keluar.”
“Aku tahu,” Reza mendekat. “Dan aku tidak akan membiarkan kau melangkah sendiri.”
—
Keesokan harinya, Aira meminta seluruh keluarga berkumpul kembali di rumahnya. Di sana, dengan suara yang tenang dan lantang, ia memutar rekaman suara Ilham dan ayahnya di hadapan semua tamu yang dahulu hadir saat lamaran.
Wajah-wajah terkejut memenuhi ruangan. Ibunda Ilham menangis, sedangkan Pak Dipa berusaha membela diri.
“Kau pikir kami akan membiarkanmu menghancurkan keluarga kami?” teriaknya, wajahnya memerah.
Namun Reza berdiri di depan Aira, melindunginya. “Jika Anda mengancam Aira, maka saya tidak akan diam. Ia bukan milik siapa pun. Dan ia tidak akan tunduk pada tipu daya kalian.”
Di tengah kekacauan itu, perempuan hamil itu muncul. Nafasnya berat, tapi langkahnya mantap.
“Saya tidak ingin balas dendam. Tapi anak ini berhak tahu siapa ayahnya. Dan Dokter Aira tidak layak diperlakukan seperti ini.”
Semua orang terdiam. Termasuk Ilham, yang akhirnya jatuh terduduk. Matanya tak sanggup menatap siapa pun.
—
Hari-hari berikutnya terasa lebih sunyi, namun lebih jujur. Aira kembali menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan tenang. Ia bukan lagi bayangan dari harapan orang lain—ia berdiri untuk dirinya sendiri.
Reputasi keluarga Pak Dipa hancur. Pencalonan Ilham dibatalkan. Ayah Aira pelan-pelan belajar menerima bahwa anak perempuannya tak bisa terus dikorbankan. Dan Aira… kembali menemukan dirinya yang sempat hilang.
Sore itu, setelah menyuntik anak-anak di posyandu, Aira pulang dengan langkah ringan. Di depan rumah, Reza menunggu.
“Kau tampak lebih tenang,” katanya, tersenyum.
“Lebih bebas,” jawab Aira.
Reza memandangnya, dalam. “Aku tahu selama ini aku hanya kau anggap sebagai ‘kakak’. Tapi izinkan aku menjadi lebih dari itu. Bukan karena rasa kasihan, bukan karena kenangan… tapi karena aku mencintaimu, Aira. Dan aku tidak akan berpura-pura seperti Ilham.”
Aira menatapnya lama. Dadanya berdebar—bukan karena takut, melainkan karena harapan yang akhirnya terasa nyata.
“Aku lelah bersembunyi di balik kata ‘kakak’. Sejak kecil, kaulah rumahku.”
Reza tersenyum, lalu menggenggam tangannya.
Dan akhirnya, Aira memilih bukan karena paksaan… tetapi karena cinta.