Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Rumah besar peninggalan nenek itu berdiri sunyi di atas bukit kecil, dikelilingi pepohonan tua yang daunnya berjatuhan perlahan saat angin musim gugur bertiup. Lila belum pernah benar-benar memperhatikan betapa rumah itu menyimpan kesunyian yang berbeda. Sejak neneknya wafat dua minggu lalu, ia tinggal di sana seorang diri. Rumah itu seperti menunggu sesuatu, seolah memiliki rahasia yang belum sempat diungkapkan.
Pagi itu, saat Lila sedang membersihkan rak buku tua di ruang baca, jari-jarinya meraba sesuatu yang terselip di antara celah kayu. Sebuah amplop tua, kecokelatan dimakan usia, namun masih utuh. Di bagian depannya tertulis namanya dalam tulisan tangan yang dikenalnya dengan sangat baik.
“Untuk Lila, di masa depan”
Ia terpaku. Tulisan itu milik ibunya. Namun ibunya telah meninggal lima tahun lalu karena kanker stadium akhir. Lila masih ingat bagaimana tangannya menggenggam erat ibu di hari-hari terakhir di rumah sakit. Tak ada sepatah kata pun tentang surat. Tak pernah ada isyarat bahwa sesuatu sedang disembunyikan darinya. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu. Sebuah kertas dengan tinta yang mulai memudar menyambut matanya. Lila menarik napas dalam, lalu mulai membaca,
“Lila sayang, Jika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak lagi di sisimu. Tapi ingatlah, kasih seorang ibu tidak pernah mati.
Ada banyak hal yang tak sempat kukatakan padamu. Tentang alasan kenapa aku selalu melarangmu masuk ke kamar loteng, atau mengapa aku begitu sensitif jika kau bertanya soal ayahmu. Sekarang, sudah saatnya kau tau kebenarannya”
Lila memeluk surat itu sesaat, matanya mulai memanas. Ia duduk di kursi tua neneknya, membiarkan dirinya larut dalam emosi yang mengguncang.
“Ayahmu bukan pria dalam foto di ruang tamu. Pria itu adalah seseorang yang ibu nikahi demi melindungimu. Ayah kandungmu adalah seseorang yang kucintai dengan segenap hati, tetapi kami berasal dari dua dunia yang berbeda secara harfiah. Dunia kami tidak seharusnya bersatu.
Jika kau ingin mengetahui lebih lanjut, pergilah ke kamar loteng. Di sana, di balik lemari tua, ada kotak berisi kenangan kami dan kebenaran tentang segalanya”
Lila menatap tangga kayu menuju loteng. Seumur hidupnya, ruangan itu selalu terkunci dan dianggap terlarang. Ibunya akan memarahi siapa pun yang mencoba masuk ke sana, bahkan neneknya pun tak pernah bersuara soal apa yang ada di dalamnya. Namun kini, rasa takut berubah menjadi dorongan kuat. Ia menaiki tangga perlahan, setiap langkah seperti menggema ke dalam jiwanya sendiri.
Pintu loteng berderit saat didorong. Debu tebal menyambut, menyelimuti ruangan yang tampaknya tidak tersentuh selama bertahun-tahun. Aroma kayu tua bercampur jamur menguar, tetapi Lila mengabaikannya. Ia menyalakan senter, menyapu cahaya ke seluruh ruangan hingga matanya menangkap lemari kayu besar di sudut ruangan.
Ia mendorong lemari itu dengan seluruh tenaganya. Di baliknya, terdapat lubang kecil pada dinding. Di dalam lubang itu, sebuah kotak hitam berbahan logam, dingin saat disentuh, dengan simbol aneh terpahat di atasnya. Simbol itu seperti lingkaran dalam lingkaran, dikelilingi garis-garis menyilang yang seolah berdenyut. Lila menarik napas dan membuka kotak tersebut.
Di dalamnya, ia menemukan benda-benda yang tak pernah dilihat sebelumnya, berisi selembar foto ibunya muda bersama seorang pria bermata tajam dan rambut gelap, berdiri di depan lingkaran cahaya besar yang tampak seperti gerbang. Ada juga jam saku berkilau dengan cahaya biru berdenyut lembut, serta beberapa lembar surat dan sebuah jurnal tebal yang penuh dengan tulisan tangan namun dalam bahasa asing. Namun saat ia menyentuh jurnal itu, tulisan-tulisan itu perlahan berubah menjadi bahasa Indonesia. Matanya membelalak.
“Mereka menyebut dunia mereka Eltherion. Letaknya sejajar dengan bumi, tetapi berbeda dalam struktur, waktu, dan kehidupan. Eltherion adalah tempat di mana ilmu dan energi menyatu, di mana manusia hidup berdampingan dengan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia bumi.
Aku bertemu Arven saat gempa waktu terjadi, peristiwa langka yang membuka celah antar dunia. Aku terseret ke dalam dimensi mereka tanpa sengaja, dan dia yang menyelamatkanku. Dari situlah semuanya dimulai”
Nama itu, Arven. Lila menatap foto pria dalam kotak itu. Matanya penuh kehangatan namun menyimpan sesuatu yang dalam. Saat ia melihat ke cermin, ia menyadari matanya sendiri tak pernah sama dengan ibunya atau ‘ayah’ yang dikenalnya. Kini semuanya masuk akal. Air mata mengalir perlahan. Lila menggenggam jam saku itu erat.
“Jadi, aku separuh dari dunia lain?”
Tiba-tiba, jam saku bergetar ringan. Cahaya birunya berdenyut lebih kuat. Dan dalam sekejap, suara lembut terdengar di telinganya—bukan suara manusia, tapi gema yang langsung masuk ke dalam pikirannya.
“Lila, jika engkau mendengarku, berarti waktunya telah tiba. Aku menunggumu di sisi lain”
Lila menoleh ke sekeliling dengan panik. “Siapa kau?” bisiknya.
Namun tak ada jawaban, hanya denyut cahaya yang kini membentuk lingkaran di udara—persis seperti gerbang di foto. Rasa takut dan penasaran saling bertabrakan di dalam dirinya. Ia menatap jurnal, mencoba mencari tau lebih banyak.
“Eltherion tidak mengenal batas usia seperti bumi. Waktu di sana mengalir lebih lambat. Satu tahun bumi, hanya satu bulan di Eltherion. Aku hidup di sana selama dua tahun bumi, namun hanya merasakan dua bulan di sana.
Arven adalah penjaga dimensi. Hubungan kami melanggar hukum Eltherion. Aku diasingkan. Tapi sebelum itu, aku sempat kembali ke bumi—dan Lila, saat itulah aku mengandungmu”
Lila tak sanggup lagi membaca. Dunia tempat ibunya pernah tinggal, tempat asal ayah kandungnya kini memanggilnya kembali. Semua rasa sepi yang selama ini dirasakannya, perasaan bahwa ia berbeda, bahwa ia tidak sepenuhnya milik dunia ini—ternyata bukan ilusi. Ia kembali menatap cahaya bundar di udara. Gerbang itu perlahan berputar, menimbulkan angin ringan.
“Jika aku masuk, apa aku bisa kembali?” gumamnya.
Namun suara dalam dirinya menjawab, bukan dengan kata-kata, melainkan rasa, tidak ada jalan kembali yang sama. Tapi ada jawaban di sana. Di ambang gerbang, Lila menggenggam jurnal dan jam saku. Ia menoleh ke loteng tua sekali lagi. Rumah ini pernah menjadi dunianya. Tapi sekarang, sebuah dunia lain menantinya. Langkahnya mantap. Ia melangkah ke dalam cahaya.
Eltherion.
Langitnya lebih terang dari matahari pagi, namun tidak menyilaukan. Awan berkilau, dan pepohonan berwarna zamrud membentang di bukit-bukit. Bangunan melayang, dan angin membawa aroma manis yang tak pernah ia hirup di bumi. Tubuhnya terasa ringan. Ia berdiri di tengah padang berbunga biru saat seorang pria mendekat dari kejauhan. Jubah peraknya berkilau, dan mata itu ia mengenalnya.
“Arven” bisiknya.
Pria itu tersenyum. “Lila”
Lila menatapnya, campuran bingung dan haru membanjiri hatinya. “Aku, aku tidak tau apa yang harus kulakukan di sini. Aku bahkan belum mengerti siapa diriku”
Arven mendekat, lalu meletakkan tangannya di bahu Lila. “Kau adalah jembatan, Lila. Darahmu adalah gabungan dua dunia. Kau lahir di bumi, tapi memiliki kemampuan Eltherion. Dunia kami ingin memutus semua hubungan, tetapi mereka tidak bisa mengabaikan keberadaanmu”
Lila menunduk. “Aku hanya ingin tau, kenapa kalian berpisah? Kenapa ibu tak pernah kembali?”
Arven menarik napas panjang. “Kami melanggar hukum tertinggi: tidak boleh ada percampuran antara dimensi. Saat ibumu kembali ke bumi dalam keadaan hamil, kami diancam. Jika aku mencarinya, maka Eltherion akan memusnahkan seluruh garis keturunannya. Kami memilih diam, untuk melindungimu”
Air mata Lila jatuh. “Selama ini… kalian berkorban sebanyak itu”
Arven tersenyum lembut. “Dan kini, waktunya telah tiba untuk dunia kami berubah. Kau adalah kunci itu, Lila. Dunia kita harus belajar untuk saling mengenal, bukan saling menghapus”
Hari-hari berlalu di Eltherion, namun waktu di bumi berjalan dalam beberapa minggu semenjak kepergiannya. Lila belajar banyak, tentang energi murni, harmoni antardimensi, dan peran dirinya sebagai penjaga baru—perantara antara dua dunia. Ia berdiri di tebing Eltherion, memandang gerbang yang akan membawanya pulang sementara.
Surat terakhir dari ibunya terbuka di tangannya:
“Jika kau memilih untuk pergi, pergilah dengan cinta. Jika kau memilih untuk kembali, kembalilah dengan keberanian. Aku tau, kau akan memilih jalanmu sendiri. Karena kau adalah anak dari dua dunia—dan dua dunia itu akan selalu menjagamu”
Lila menutup mata, merasakan hangatnya angin Eltherion. Kini ia tau siapa dirinya. Dan dunia, tak lagi terbagi dua karena jembatannya telah bangkit. Udara dingin menyambut Lila saat ia membuka matanya. Cahaya mentari senja menyelinap masuk dari jendela loteng yang terbuka, menerangi debu-debu yang melayang seperti serpihan waktu. Ia masih duduk di lantai kayu rumah nenek, jam saku di tangannya tak lagi berpendar.
Gerbang ke Eltherion telah tertutup. Ia kembali ke bumi. Namun sesuatu terasa berbeda—seperti mengenakan kulit yang bukan miliknya. Udara bumi begitu padat, sunyi yang mengiris, dan warna-warna dunia tampak lebih suram dibandingkan cahaya hangat Eltherion. Kaki-kakinya gemetar saat turun dari loteng. Setiap langkah membawa beban baru, rahasia yang tak bisa ia bagi, identitas yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.
Rumah itu sunyi. Jam di dinding menunjukkan pukul 18.23. Tapi… berapa lama ia telah pergi? Lila buru-buru meraih ponselnya. Puluhan pesan masuk. Beberapa dari teman kampus. Beberapa dari dosennya. Dan satu dari tante Aida:
“Lila, kamu ke mana saja? Sudah tiga minggu tak ada kabar. Kami sudah lapor polisi”
Tiga minggu?
Lila menjatuhkan ponsel itu tanpa sadar. Padahal di Eltherion, waktu yang ia rasakan tidak lebih dari empat hari. Ia menutup wajah dengan tangannya. Dunia ini bergerak terlalu cepat. Tiga minggu telah berlalu sejak ia kembali. Tapi dunia di sekitarnya tak lagi terasa sama.
Ia mencoba menjalani hidup seperti biasa. Kembali ke kampus. Menjawab pertanyaan orang-orang dengan dalih sakit dan mengasingkan diri. Tapi malam-malamnya dipenuhi mimpi tentang langit Eltherion, bunga biru yang menyala di gelap, dan suara ayah yang belum pernah ia dengar di dunia ini. Ia merasa terjebak antara dua langit—bumi yang terlalu keras, dan Eltherion yang terlalu jauh.
Di perpustakaan, ia membaca buku-buku filsafat dan fisika kuantum, berharap menemukan penjelasan rasional tentang lintasan dimensi. Ia bahkan mendatangi forum ilmiah yang membahas “anomali ruang-waktu” namun tak ada satu pun yang menyentuh kenyataan yang ia alami. Tak seorang pun bisa mengerti. Dan ia tak bisa menceritakannya.
Di rumah, Lila mulai menulis jurnal. Ia menyalin isi buku ibunya ke dalam catatan digital, berharap suatu saat bisa menguraikan maksudnya. Ia juga mempelajari simbol-simbol di jam saku, yang kini hanya benda diam, namun terasa hidup saat disentuh. Terkadang, jam itu bergetar ringan, seolah mengingatkannya bahwa Eltherion masih ada—menunggu.
Tetapi dunia manusia tidak memberi ruang untuk keraguan. Ujian akhir semester semakin dekat. Orang-orang menuntut stabilitas. Lila mulai kehilangan fokus. Ia merasa terbagi dua.
Suatu malam, ia berkata pada dirinya sendiri di cermin, “Kau hidup di bumi, tapi jiwamu tertinggal di langit lain”
Matanya berkaca-kaca. Ia merindukan seseorang yang belum pernah ia kenal, yaitu ayahnya, Arven. Lila kembali membuka surat-surat ibunya. Di satu lembaran, ia menemukan tulisan yang tak ia baca sebelumnya:
“Lila, suatu hari kau akan merasa asing di dunia ini. Akan ada hari di mana semuanya terasa salah. Tapi jangan benci bumi, karena ia adalah tempat kau dilahirkan. Aku ingin kau tau, aku pernah memilih untuk meninggalkan segalanya demi kembali padamu. Jangan salahkan ayahmu. Ia tidak pernah berhenti mencintai kita”
Surat itu membuat Lila menangis tersedu. Untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, ia mengizinkan dirinya menangis bukan karena kehilangan, tetapi karena kerinduan akan kebenaran yang sempat dikaburkan. Ibunya hidup dalam rahasia, mencintai dua dunia, dan kini ia mewariskan beban itu pada Lila.
Di tengah keraguan, pertanda pertama muncul. Saat Lila sedang menulis di taman kampus, tiba-tiba pena di tangannya berhenti mengalirkan tinta. Ia menggantinya. Tapi pena berikutnya juga gagal. Lalu ia melihatnya, tinta di kertas menghilang pelan, terserap, dan berubah menjadi simbol Eltherion yang samar. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar.
Jam sakunya bergetar malam itu. Tapi bukan cahaya biru yang menyala. Kali ini, cahaya putih lembut menyusup keluar, membentuk garis lengkung di udara, seperti potongan peta atau rasi bintang. Lila menatapnya lama. Ia tau bahwa Eltherion memanggilnya kembali.
Tapi belum saatnya pergi. Ia belum siap meninggalkan bumi. Belum siap melepaskan bagian dirinya yang manusia. Suatu sore, ia duduk di kafe kecil dekat sungai kota, memandangi arus air yang tak henti. Lalu, seorang pria tua duduk di bangku sebelah. Ia membawa buku, dan mengenakan liontin aneh yang membuat Lila terpaku, itu simbol Eltherion.
Pria itu menoleh dan tersenyum. “Kau mirip ibumu”
Lila membeku. “Anda siapa?”
Pria itu menutup bukunya. “Namaku Dareth. Aku dulu penghubung antara bumi dan Eltherion. Dan aku di sini untuk membantumu”
Dareth memberitahunya sesuatu yang mengubah segalanya. Arven masih hidup, namun terjebak dalam “zona jeda” ruang antara dimensi yang tak bisa ia lewati sendirian. Dan hanya satu orang yang bisa membukakan jalur itu, dan itu darah dari dua dunia. Lila sendiri.
Tapi ada risiko besar, jika ia gagal menstabilkan gerbangnya, kedua dunia bisa terguncang. Lila berdiri di atas atap rumahnya malam itu. Angin berhembus pelan, membawa bisikan dari langit yang lain. Ia menatap jam saku yang mulai menyala kembali. Kini ia tau siapa dirinya.
Dan ia tau misi berikutnya bukan hanya tentang pencarian jati diri, tapi juga tentang menyelamatkan ayah yang belum pernah ia temui dan menjadi jembatan antara dua dunia yang saling menghindar.
“Bumi, Eltherion, Aku tak harus memilih salah satunya. Aku adalah penghubung itu, jadi aku memilih keduanya” Ia tersenyum pelan.
Langit mulai bergetar, pertanda jembatan antara dua dunia, berhasil di bangkitkan.