Istirahat Selamanya

by
Istirahat Selamanya
Istirahat Selamanya

Karya : A. Adinda Bella Pratiwi

Langit malam di atas Seoul tidak sekadar gelap—ia terasa berat. Awan-awan hitam menggantung tanpa gerak, seakan ikut membeku dalam waktu. Kota yang biasanya benderang dengan lampu-lampu dan suara kehidupan kini terkesan sunyi, meski jalanan tetap dipenuhi mobil dan manusia. Tapi buat seseorang di dalam gedung tinggi berlogo bintang keemasan itu, dunia sudah lama kehilangan cahaya.

Namanya Han Daeun. Penyanyi solo paling bersinar dalam lima tahun terakhir. Wajahnya terpajang di mana-mana—iklan kosmetik, papan LED di Myeongdong, bahkan sampul album milik idol lain yang menyebutkan namanya sebagai inspirasi. Tapi kini, dia duduk sendirian di ruang tunggu yang hening, menatap cermin besar di hadapannya.

Daeun debut tiga tahun lalu sebagai solois. Visualnya menakjubkan, suaranya hangat, dan auranya—seolah tidak berasal dari dunia ini. Setiap kemunculannya menjadi perbincangan. Bahkan para idol pria pun menyebut namanya dalam wawancara, mengatakan bahwa mereka mengidolakan Daeun. Namun di balik layar, hidup Daeun tidak semewah yang tampak.

StarNova Entertainment, agensi yang menaunginya, dikenal disiplin dan keras. Tapi publik tidak pernah tahu seberapa kejam sebenarnya. Daeun adalah “harta” mereka yang paling bersinar, dan untuk menjaga kilaunya, mereka tak segan mengikis jiwanya.

Jam menunjukkan pukul 02.35 dini hari. Studio latihan terlihat lengang. Hanya ada satu orang di sana—Daeun, yang sedang berdiri lemas di depan cermin, keringat membasahi leher dan punggungnya.

“Ulangi lagi. Ekspresi mu datar. Ulangi!” teriak sutradara panggung lewat pengeras suara.

“Aku, aku sudah mengulang lima belas kali” suara Daeun nyaris tak terdengar.

“Dan tetap gagal terus! Kau pikir kau bisa meminta istirahat kalau performamu seperti ini?!”

Lantai dingin studio menjadi saksi ketika tubuh Daeun akhirnya terduduk, lemas. Matanya menatap ke arah kamera CCTV di sudut ruangan. Ia tahu, semua diawasi. Bahkan ketika ia pulang ke dorm-nya, telepon tak berhenti berdering—latihan vokal tambahan, pemotretan dadakan, video promosi untuk klien, fanmeeting virtual.

Tidur hanyalah kemewahan satu-dua jam yang tidak selalu ia miliki. Makan pun harus cepat, seringnya hanya sekali sehari. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah fisiknya yang lelah, melainkan caranya fans berubah.

 

 

Beberapa minggu kemudian. Riasannya yang sempurna. Lipstik merah tua, eyeliner tajam, highlighter menyala di tulang pipi. Tapi mata itu, mata yang dulunya hidup dan penuh ambisi, sekarang tampak kosong. Seperti danau yang permukaannya tenang karena sudah tak ada lagi ikan yang berenang di bawahnya. Pintu ruang itu terbuka dengan suara klik. Seorang pria berjas hitam masuk. Itu Manajernya.

“Daeun, besok pagi jam tujuh ada pemotretan. Jangan terlambat. Jangan lupa juga kamu punya siaran radio jam sembilan malam. Jadwalmu padat.”

Daeun hanya menatap pria itu tanpa menjawab. Tatapannya tidak tajam, tapi juga tidak tunduk. Dia hanya lelah.

“Dan jangan lupa tersenyum,” tambah si manajer sebelum keluar dan menutup pintu seperti biasa tanpa peduli apa pendapat nya.

Ketika pintu tertutup kembali, Daeun tertawa kecil, mengingat kehidupannya yang dipenuhi tekanan.

Dia berdiri perlahan, menyentuh bibirnya dengan jari, mencoba membentuk senyum. Tapi cermin itu menolak berbohong. Yang terlihat hanya seorang perempuan yang sudah kehilangan dirinya.

Hari-harinya seperti naskah yang ditulis ulang tanpa jeda. Daeun bangun sebelum matahari terbit, latihan vokal dengan pelatih yang tak pernah puas, menari sampai kakinya memar, lalu kembali ke dorm untuk tidur tiga jam sebelum semuanya diulang.

Suatu malam, ia duduk di kamar sambil menggenggam ponselnya erat. Sebuah artikel baru saja diunggah. Tulisan anonim. Mengungkap praktik kejam dalam agensi StarNova membahas penyanyi wanita yang dipaksa bekerja tanpa istirahat, yang bahkan tidak diberi waktu untuk menghadiri pemakaman ibunya.

Daeun tahu, tulisan itu tentangnya. Dia tahu karena dialah yang mengirimkannya diam-diam dari akun tak dikenal. Namun alih-alih mendapatkan simpati, ia disambut dengan hujatan.

“Cari perhatian. Sok menderita.”

“Sudah tahu jadi idol itu berat, kenapa masuk?”

“Kenapa tidak mengundurkan diri saja?”

Daeun menatap komentar-komentar itu dengan wajah tenang. Tapi tubuhnya gemetar.

Ia ingin menangis, tapi matanya sudah kering. Ia ingin bicara, tapi suaranya seperti hilang entah sejak kapan.

 

 

Malam itu, Daeun mengenakan gaun putih bukan karena ingin tampil cantik. Tapi karena ia ingin dunia mengingat dirinya sebagai sesuatu yang bersih. Meski semua yang ada di hatinya kini seperti luka lama yang tak pernah sempat mengering.

Dia naik ke atap gedung StarNova. Angin berhembus kencang, membuat rambut panjangnya berkibar. Cahaya-cahaya kota terlihat kecil dan jauh dari sana. Suara klakson, musik, dan tawa manusia hanya gema samar. Ia berdiri di tepi. Tangannya memegang surat kecil, tulisan tangannya sendiri.

“Untuk kalian yang pernah mencintaiku, dan kemudian membenciku. Terima kasih karena telah menunjukkan bahwa cinta di dunia ini tidak pernah benar-benar gratis.”

Ia menarik napas panjang. Senyum kecil kembali muncul, bukan karena bahagia—tapi karena akhirnya ia tahu caranya istirahat.

“Berhenti dari sana bukan berarti aku akan bebas kan? Lebih baik aku sendiri yang membebaskan jiwa ku, aku perlu ketenangan, untuk selamanya” itulah perkataan terakhir Daeun

Lalu ia melompat dan jatuh ke lantai paling bawah gedung, dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya.

 

 

Berita tentang kematiannya menyebar seperti badai. Media menulis tajuk besar-besaran:

“Han Daeun Ditemukan Tewas, Dugaan Bunuh Diri Menguat.”

“#RestInPeaceDaeun” menjadi trending di seluruh platform media sosial dalam hitungan menit. Para idol yang dulu mengaguminya mengunggah foto mereka bersama, mengenang senyumnya. Fans mulai mengungkapkan penyesalan, mengunggah tangkapan layar komentar mereka sendiri dan menyesalinya.

Pihak StarNova Entertainment memberikan pernyataan resmi: “Kami sangat berduka. Daeun adalah artis yang luar biasa dan kami kehilangan sosok berbakat…”

Namun pernyataan itu membuat agensi tersebut makin dibenci, semua nya marah. Seorang mantan trainee akhirnya buka suara, mengungkapkan sistem pelatihan tidak manusiawi di agensi itu. Disusul staf yang resign, membongkar bukti bahwa Daeun dipaksa latihan selama 20 jam sehari selama berbulan-bulan. Semuanya terungkap.

Agensi StarNova dihujat besar-besaran. Sponsor mundur, trainee hengkang, dan grup-grup naungan mereka kehilangan penggemar. Gedung itu kini sunyi. Tempat Daeun dulu tersenyum dalam poster, kini hanya menyisakan foto hitam putih dengan pita berkabung.

 

 

Beberapa minggu setelah pemakamannya, di sebuah tempat latihan kosong, seorang gadis muda duduk sambil mendengarkan lagu milik Daeun. Judulnya: “Silence After Applause.”

Tangisnya pecah di tengah ruangan hening.

“Kak, aku janji akan bertahan. Meski semuanya menyakitkan, aku akan terus bernyanyi. Karena kakak pernah ada.”

Langit di luar jendela cerah. Tapi di dalam hati banyak orang, hujan turun sangat pelan.

Daeun sudah pergi. Tapi kepergiannya membuka mata banyak orang. Tentang bagaimana senyum di atas panggung tak selalu berarti bahagia. Tentang pentingnya mendengar jeritan yang disembunyikan di balik kata ‘aku baik-baik saja.’

No More Posts Available.

No more pages to load.