Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Rumah itu selalu tampak sepi, namun lampunya menyala tepat pukul tujuh malam setiap hari. Tidak pernah lebih awal, tidak pernah lebih lambat. Rani memperhatikannya dari jendela kamar lantai dua rumah barunya. Rumah itu berada di ujung jalan buntu, terkurung oleh semak tinggi dan pagar kayu yang lapuk. Tidak pernah terdengar suara televisi, tidak pula ada tanda-tanda kehidupan selain cahaya lampu ruang tamu.
Sudah dua minggu sejak Rani dan ibunya pindah ke lingkungan tersebut. Sejak ayahnya meninggal dalam kecelakaan kerja, mereka memilih meninggalkan kota dan menetap di tempat yang lebih tenang. Namun ketenangan itu terasa aneh ketika disertai misteri yang membungkam warga.
“Bu, rumah itu kosong, bukan?” tanya Rani saat mereka makan malam.
Ibunya menatap Rani dengan senyuman, “Rumah yang mana, nak?”
“Yang nomor sebelas, yang ada di ujung jalan. Lampunya selalu menyala tiap malam, tapi aku belum pernah melihat siapa pun keluar masuk”
Ibunya terdiam sejenak. “Bu darti pernah menyebut rumah itu. Katanya pernah ada keluarga tinggal di sana, tapi sudah lama kosong sejak keluarga itu mengalami kejadian buruk”
“Apa yang terjadi?”
Ibunya menggeleng, “Ibu tidak tahu pasti, nak. Jangan terlalu dipikirkan, ya? Fokus saja pada sekolahmu”
Namun Rani tidak bisa berhenti memikirkan rumah itu. Ia melihatnya setiap hari, setiap malam. Dan semakin diperhatikan, semakin aneh rasanya. Bagaimana mungkin rumah kosong tetap memiliki listrik? Mengapa hanya satu lampu yang menyala, dan selalu pada waktu yang sama? Ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
~~~~~
Sore itu, setelah pulang sekolah, Rani memberanikan diri berbicara dengan Bu Darti, tetangga yang rumahnya menghadap langsung ke rumah nomor sebelas.
“Permisi, Bu darti. Boleh saya bertanya?”
Perempuan paruh baya itu tersenyum ramah. “Tentu, rani. Ada apa?”
“Rumah nomor sebelas saya dengar dulu ada keluarga tinggal di sana. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ekspresi Bu Darti berubah. Senyumnya memudar, lalu ia menunduk. “Rumah itu milik Ibu indah dan putranya, damar. Mereka tinggal berdua setelah suaminya meninggal. Damar anak tunggal, pendiam, namun sopan. Ia suka bermain di danau kecil di belakang rumah mereka, tapi tempat yang cukup dalam jika di musim hujan”
Rani menelan ludah. Ia belum pernah ke danau itu, bahkan melihatnya saja tidak pernah. Ia baru tau keberadaan danau itu.
“Suatu hari, sepulang sekolah, Damar bermain sendirian. Ibunya sedang menyiapkan makan malam. Entah bagaimana, ia terpeleset dan jatuh. Tidak ada yang melihat. Ia ditemukan keesokan harinya oleh petugas patroli desa. Tubuhnya sudah dingin” Suara Bu Darti melemah.
“Ibu Indah sangat terpukul. Setelah pemakaman, ia mengunci rumah dan pergi. Tidak pernah kembali. Tapi sejak dua tahun lalu, lampu rumah itu mulai menyala kembali. Tidak ada yang tahu mengapa”
“Apakah mungkin ada yang tinggal di sana?”
“Penduduk sudah coba mengecek. Rumah itu kosong, tidak ada barang baru, tidak ada tanda-tanda penghuni. Tapi listrik tetap aktif. Bahkan ada sup panas yang pernah ditemukan di meja ruang makan oleh petugas ronda. Anehnya, ketika dicek pagi harinya, tidak ada bekas apa pun”
Rani merinding, jika pemikirannya tidak salah, mungkin saja anak itu mati penasaran. Dan jiwa nya lah yang mendiami rumah itu selama ini.
“Mereka bilang, arwah anak itu belum pergi. Masih menunggu sesuatu”
“Menunggu siapa?” bisik Rani.
“Tidak ada yang tahu. Mungkin ibunya, mungkin seseorang untuk menemani. Hanya Tuhan yang tahu itu”
~~~~~
Malam itu, langit dipenuhi awan kelabu. Angin bertiup dingin dan rerumputan berdesir pelan di halaman belakang rumah Rani. Pukul menunjukkan 19.00. Lampu ruang tamu rumah nomor sebelas kembali menyala.
Jantung Rani berdegup kencang. Ia menatap ke luar jendela, lalu memutuskan sesuatu. Didorong oleh rasa ingin tahu, ketakutan, dan empati yang tidak bisa dijelaskan, ia mengenakan jaket, mengambil senter, dan diam-diam keluar rumah. Pagar kayu rumah nomor sebelas terbuka sedikit. Rani mendorongnya perlahan. Suara deritnya menembus sunyi malam.
Halaman rumah ditumbuhi rumput liar, jendela-jendela tertutup tirai lusuh. Saat ia melangkah mendekat, pintu depan terbuka sedikit, seperti sedang ada yang menantinya.
“Permisi” ucap Rani pelan.
Ia melangkah masuk. Ruang tamu remang-remang, namun tidak berdebu seperti yang ia bayangkan. Meja makan tertata rapi. Ada semangkuk sup yang mengepul. Rani mendekat. Sup itu mengeluarkan aroma jahe dan ayam. Lalu ia melihatnya.
Seorang anak laki-laki duduk di kursi dekat jendela. Piyamanya basah, rambutnya meneteskan air, kulitnya pucat, matanya suram. Namun ada sesuatu dalam pandangannya—bukan ketakutan atau semacamnya, melainkan kesepian yang begitu dalam.
“Kamu bukan penghuni rumah ini, bukan?” tanya anak itu.
Rani menggenggam senter erat-erat. “Aku hanya ingin tahu. Siapa kamu?”
“Aku Damar” Suaranya serak, “Aku dulu tinggal di sini. Tapi sekarang tidak ada yang tinggal bersamaku, aku kesepian”
“Aku dengar kamu—” Rani ragu menyelesaikan kalimatnya.
“Ya. Aku tenggelam” jawab anak itu.
Sunyi menyelimuti ruangan. Angin dari jendela yang terbuka meniup tirai perlahan.
“Aku hanya ingin seseorang datang. Duduk bersamaku. Seperti dulu saat Ibu membaca buku, dan aku mendengarkan sambil makan sup hangat buatannya”
Rani menahan napas. Di hadapannya bukan sekadar arwah penasaran. Ia melihat seorang anak yang kehilangan waktu, kehilangan kehangatan, dan masih terjebak dalam ingatan akan rumahnya.
“Kau menunggu ibumu?”
Damar mengangguk lemah. “Tapi ia tidak akan kembali. Aku tahu itu. Ia terlalu sedih. Tapi aku masih di sini. Menunggu seseorang, dan berharap ada yang akan menemani ku”
Rani ragu, namun rasa takut dalam dirinya perlahan larut menjadi iba. Ia menarik kursi, lalu duduk di samping Damar. “Aku bisa menemanimu malam ini” ucapnya.
Damar tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, sorot matanya berubah. Tidak lagi kelam, tapi ada secercah damai, kebahagiaan terpancar dari senyuman manisnya.
“Aku tidak sendiri lagi malam ini” ucapnya dan tersenyum kepada Rani.
Mereka duduk dalam diam, hingga lampu ruang tamu padam dengan sendirinya pada pukul sembilan malam. Ketika Rani membuka mata, entah kapan ia sempat memejamkan, Damar telah menghilang. Sup di meja telah dingin, dan ruang tamu kembali kosong seperti rumah yang telah ditinggalkan.
~~~~~~
Keesokan paginya, Rani menceritakan segalanya kepada ibunya. Ibunya tidak marah, hanya memeluknya dengan erat.
“Apa kamu takut?” tanya ibunya pelan.
“Awalnya. Tapi Damar, ia hanya kesepian”
Malam-malam berikutnya, Rani kembali datang ke rumah itu. Tidak setiap hari, tapi cukup sering. Dan setiap kali, Damar akan menyapanya dengan senyum kecil, lalu duduk bersamanya di ruang tamu yang remang.
Seminggu kemudian, sebuah surat datang dari luar kota, ditujukan kepada pihak RT. Pengirimnya adalah Indah, ibu Damar. Dalam surat itu, ia menulis:
“Saya bermimpi tentang putra saya. Ia duduk bersama seorang gadis di ruang tamu rumah kami, tampak tenang. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, saya merasa damai. Saya akan kembali ke rumah itu, bukan untuk tinggal, tetapi untuk melepaskan secara ikhlas”
Dua hari kemudian, Indah datang. Ia berdiri lama di depan rumahnya, sebelum masuk dan duduk sendiri di ruang tamu. Tidak ada yang tahu apa yang ia lihat atau dengar, namun saat keluar, ia tampak lega.
“Terimakasih sudah menemani putraku selama aku tidak ada” katanya lirih kepada Rani.
Setelah itu, lampu rumah nomor sebelas tidak pernah menyala lagi. Danau kecil di belakang rumah mereka kini diberi pagar pembatas dan papan peringatan: “Air Dalam. Dilarang bermain tanpa pengawasan”
Damar telah pergi. Tidak lagi menunggu. Dan Rani tahu, dalam caranya yang sederhana, ia telah membantu sebuah jiwa kecil pulang ke tempat yang seharusnya, bukan dengan perasaan yang kosong, tapi perasaan senang dan hangat.