Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Namaku Sinnea Agraham, Aku berusia 12 tahun dan Aku telah menjalani UAS. Sebentar lagi adalah hari ulang tahun ku, tetapi sebelum itu Aku harus mendaftar di Sekolah Menengah Pertama yang akan menjadi tempat dimana Aku belajar menjadi lebih dewasa dan disiplin dibandingkan pada saat di Sekolah Dasar. Aku menjalani hari-hari ku seperti biasa dan tak ada gangguan apapun. Mungkin itu hanya mimpi ku yang beranggapan bahwa keseharian ku yang damai dan tentram. Di sore ini, Aku harus menghadapi anak-anak di dekat rumahku. Mereka terus mengganggu konsentrasi belajar ku, Aku hanya belajar dalam beberapa jam karna mereka.
“Kalau membunuh orang itu tidak dosa, Aku pasti sudah melakukannya sedari tadi” ucap ku yang sudah geram dengan kelakuan mereka.
Mereka hanya tertawa setelah mendengar ucapanku. Mereka pikir aku sedang bercanda, jadi mereka terus menertawakanku sembari mengganggu ku yang sedang belajar. Karena emosi dan kegiatan belajar ku yang terganggu aku berhak untuk memarahi mereka kan.
“Hei, bocah songong. Kalian mau cari mati, hah? Kalau kalian tidak mau terluka seperti tetanggga sebelah disana itu, yang namanya liam, sebaiknya pulang dan beristirahatlah”
Sejujurnya aku tidak sengaja memukuli anak yang bernama Liam itu, tapi mungkin saja sengaja. Karena dia sangat-sangat membuatku emosi, dia selalu mengganggu ku seperti anak-anak ini.
“Ternyata dia yang membuat kak liam hampir di bawa ke Rumah Sakit, ya? Kak Nea sungguh kejam, aku akan melaporkan mu ke mamaku!” Ujar Zeyn anak tetangga sebelah yang usilnya minta di buang ke rawa-rawa.
Setelah Zeyn berkata seperti itu, teman-teman Zeyn pun ikut kabur, lalu tanpa di duga-duga, Zeyn terjatuh karna tersandung batu. Akhir yang mengenaskan untuk seorang Zeyn. Dia terjatuh di saluran air depan rumahku. Akhir yang mengenaskan bagi Zeyn, bukan? Badan yang tadinya bersih karna habis mandi sekarang malah jadi seperti hantu yang berlumuran lumpur. Baju nya pun berubah, warna yang semula orange menjadi hitam. Sungguh naas nasibmu Zeyn.
“Lain kali hati-hati kalau lari. Nanti bukan ngelapor karna aku jahat tapi karna kau yang jatuh di saluran pembuangan air itu!”
Tentu aku tertawa melihat keadaan anak itu, tapi aku jadi teringat wajahku sewaktu aku terjatuh di saluran pembuangan air sama seperti Zeyn. Cuma bedanya aku jatuh di sekolah dan di hadapan teman-temanku dan juga guru ku, sungguh pengalaman yang memalukan.
“Kak Nea jahat! Mama, aku di ejek kak nea, tolong aku” Zeyn berlari setelah mengatakan itu. Dia menangis dan terus berlari.
Teman-temannya yang melihat Zeyn menangis sambil kabur, mereka pun ikut berlari mengejar Zeyn sampai kerumahnya.
Di malam hari tepat saat jam makan malam dimulai. Aku sangat bosan dengan suasana meja makan yang tak pernah berubah sejak 2 tahun terakhir. Tiba-tiba saja petir menghantam salah satu pohon di dekat rumahku. Aku tidak terlalu terkejut, bahkan saat mendengar suara petir tersebut aku hanya melihatnya sebentar lalu fokus pada makanan lagi. Seperti sedang melihat pemandangan, aku memotret pohon yang sudah hangus itu, tapi jujur hasil nya sangat indah.
Terdengar tangisan anak kecil dari arah kamar ku, dengan cepat aku berlari kesana meninggalkan makanan ku yang masih tersisa dan menemukan adikku yang sedang ketakutan, aku berlari memeluknya dan menenangkan nya. Dia menangis di dalam pelukan ku, aku membelai rambutnya berusaha untuk membuatnya berhenti menangis. Bukannya berhenti menangis, dia malah tertidur di pelukan ku.
Adikku, Saka. Dia masih berumur 6 tahun. Tapi kedua orang tua kami sering meninggalkan kami karena pergi bekerja, namun hari ini mereka pulang sangat terlambat. Ataukah mereka melupakan kami? Badai yang terus merusak beberapa pohon di sekitar rumah membuat getaran terasa hingga lantai rumahku. Tapi untungnya di kamar ku suara gemuru petir tidak terlalu terdengar, sehingga Saka bisa tidur dengan nyenyak. Aku membawa nya ke tempat tidur dan tidur bersama nya, melupakan semua apa yang ku pikirkan dan terlarut dalam dinginnya hujan di malam itu.
Aku terbangun di pukul 2 dini hari, dan mengecek apakah kedua orang tua ku sudah datang atau belum, ternyata mereka belum pulang sama sekali. Aku mengelilingi rumah yang luas itu, tapi selalu saja aku merasa rumah ini sangat sesak. Kulihat foto kami berempat, mereka berdua seperti tidak berbahagia dengan kehidupan ini. Lantas mengapa kalian berdua menikah dan bahkan kenapa kalian membiarkan ku dan Saka tetap ada? Kalian memberikan harapan palsu padaku, kasih sayang? Mana mungkin aku mendapatkannya.
Jika sedari awal mereka tidak menginginkan kami, lalu kenapa kami harus di adopsi? Seharusnya mereka membiarkan kami hidup di panti asuhan kembali, disana lebih menyenangkan dan banyak teman serta kasih sayang dari orang tua yang mengurus kami disana, dibandingkan dengan kalian yang tidak pernah sekalipun menganggap kami ada. Sebenarnya apa guna kami disini?
Pikiran yang terus melayang entah kemana membuatku berjalan mengelilingi rumah hingga kedua kali nya, hujan semakin deras dan petir menyambar jalanan dimana-mana. Kulihat ke arah jendela, ada lampu sorot yang membuat ku fokus ke arahnya. Mereka datang, mereka sudah pulang. Sebuah mobil yang terparkir di depan rumah, kedatangan mereka yang sunyi, dan wajah mereka yang kelelahan. Itulah yang pertama kali kurasakan saat menyambut mereka.
“Kenapa belum tidur?” Tanya ayahku.
Aku hanya menggeleng pelan dan menatap mereka masuk ke dalam rumah, apa yang ku harapkan? Bisakah aku menanyakan kepada mereka, sebenarnya apa guna kami disini? Aku dan adikku bahkan tidak mendapatkan sedikit pun kasih sayang.
“Kenapa, kenapa kalian selalu mengacuhkan kami berdua?” Sungguh gila, aku melontarkan pertanyaan yang gila. Mereka berdua hanya menatapku iba, apakah aku terlihat konyol di mata mereka?
“Ada apa denganmu? Kau kerasukan?” Ucap ibuku.
“Tidak, hanya saja aku selalu ingin menanyakan ini. Apakah kalian hanya memanfaatkan kami?” Pertanyaan yang luar biasa, secara tidak sengaja pertanyaan itu malah keluar dari mulut ku.
Sebuah tamparan keras mengenai pipi kiri ku, aku meringis merasakan panas diseluruh wajahku. Apakah pertanyaan ku salah?
“Sepertinya otakmu sudah tercuci oleh seseorang, siapa yang mengajari mu seperti itu, nea?” Ayahku terus menatapku setelah mengatakan ini.
“Tidak ada. Tapi kalian, kenapa kalian selalu mengacuhkan kami? Kenapa kalian tidak pernah memberikan kasih sayang kepadaku maupun saka? Ibu, ayah, sebenarnya kalian sayang atau tidak kepada kami? Apa kalian hanya memanfaatkan ku dengan saka?” Semua pertanyaan yang ku ucapkan adalah inti dari perasaan ku.
Tidak cukup sampai disitu, satu tamparan keras mengenai wajah ku sekali lagi. Aku mengelusnya, air mataku turun perlahan.
“Kau sangat tidak tau berterimakasih sinnea! Kami sudah mengurusmu 2 tahun selama ini dan ini balasan mu kepada kami? Jika tau akan seperti ini kami tidak akan pernah ingin mengadopsi mu” ayahku mulai marah, wajahnya memerah karena emosi.
“Lantas mengapa kalian mengadopsi ku dengan saka, ayah? Kalian hanya ingin pamer kepada teman kalian bahwa kalian ini orang tua yang sangat menyayangi anak-anaknya? Aku jijik membayangkan nya, lebih baik aku pergi dari sini jika perlakuan kalian masih sama! Aku muak, aku tidak tahan hidup dalam kehampaan!”
“Sinnea!”
Orang tua yang keji, orang tua yang katanya menyayangi anaknya tapi malah melukainya bahkan mencekik nya. “Kenapa tidak bunuh saja sekalian, ibu?” Aku muak, aku benar-benar muak dengan drama keluarga ini.
Sebuah teriakan yang mengalihkan perhatian kami bertiga, itu Saka. Dengan panik aku berlari ke kamar dan menggendong nya, aku hanya bisa menangis. Tapi ayah tiba-tiba menarikku dengan kasar lalu mencambuk ku, aku hanya melindungi adikku. Tidak apa aku terluka, aku akan melakukan segala cara agar Saka tidak terluka sedikit pun. Namun kenyataan berbanding terbalik, ibu mengambil alih Saka dari gendongan ku, dia melempar Saka dan membuat kepala nya mengenai lantai yang dingin.
Aku benar-benar tidak tahan lagi, aku pergi meninggalkan ayah dan segera mengambil Saka, menggendong nya dan melarikan diri dari rumah. Mereka mengejar kami, tapi bukan untuk menyuruh kami kembali, tapi ingin menyiksa kami hingga mati. Aku berusaha berlari tapi hujan turun lagi dengan sangat deras dan di sertai gemuruh yang menggelegar. Aku hanya terjatuh di atas aspal yang kasar, terpaksa di pukuli habis-habisan oleh mereka.
Sekarang aku percaya, apa yang terlihat di mata kita, tidak selalu benar dengan apa yang sebenarnya akan terjadi pada kita. Mereka merebut adikku, aku benar-benar akan menyumpahi mereka jika mereka berani membunuhnya. Tapi mereka tidak peduli, ayah terus menendang ku dan menyambuk ku tanpa henti. Aku hanya bisa meringis kesakitan dan melihat adikku yang dibunuh oleh ibu angkat ku. Mereka hanya tertawa dan membiarkan ku mendekati Saka.
Setelah ku cek, Saka meninggalkan ku sendirian, aku sangat membenci hal ini, jika saja Tuhan mengabulkan permintaan ku. Aku pasti tidak akan macam-macam, hanya satu permintaan. Tuhan, tolong kabulkan lah permintaan ku ini, buatlah mereka menerima hukuman yang setimpal atas penyiksaan yang mereka lakukan kepada ku dan juga Saka. Aku hanya bisa menangis, air mataku tercampur dengan air hujan yang turun begitu derasnya.
“Apakah kalian puas? Kalian benar-benar gila, kalian iblis! Jika suatu hari nanti kalian memiliki anak, ku harap kalian akan menderita!” Hanya itu kalimat yang bisa ku ucapkan dan meninggalkan mereka berdua.
Terdengar sebuah decitan ban dari arah belakang, aku yang masih menggendong Saka berbalik. Kecelakaan beruntun terjadi di hadapanku, ayah dan ibu angkat ku tertabrak truk yang mengangkut batang pohon yang besar, mataku terbelalak menyaksikan peristiwa yang begitu mengenaskan. Pertumpahan darah pun terjadi, ledakan akibat kebocoran pada tangki mengakibatkan kebakaran besar dirumah kami yang dulu. Mobil lain yang mengalami kecelakaan beruntun ini pun terbakar habis. Aku senang mereka mendapat hukuman, tapi aku juga sedih melihat korban yang tidak bersalah ikut meninggal akibat kejadian ini.
Apakah ini jawaban darimu Tuhan? Terimakasih, kau mendengarkan ku. Aku akan hidup dengan perjuanganku sendiri, dan akan selalu mengenang adikku Saka. Biarkan hujan di hari ini yang akan menjadi saksi, bahwa semua perlakuan yang kita lakukan pada orang lain, akan selalu ada timbal baliknya, mau itu baik ataupun buruk.