Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Aku pindah ke apartemen tua di Jalan Sawo karena alasan sederhana, murah dan dekat dengan kantorku. Setelah tiga tahun hidup berpindah-pindah, menumpang di kontrakan sempit dan kamar kos yang berisik, akhirnya aku menyerah pada kenyamanan, atau lebih tepatnya, kepraktisan. Aku tidak membutuhkan ruang besar, hanya tempat untuk tidur, bekerja, dan menghindari interaksi sosial berlebih.
Apartemen itu berlantai lima, berdiri seperti sisa zaman yang tak lagi ingin dikenang. Lift-nya menjerit setiap kali bergerak, seperti tulang rapuh yang dipaksa bekerja. Cat temboknya mengelupas, lantainya retak halus seperti garis usia, dan lorong-lorong sempitnya menjelma labirin kelam yang tak ramah. Aku mendapat kamar nomor 304, tepat di tengah koridor lantai tiga.
Saat aku pindah, pemilik apartemen, Bu Rini—perempuan paruh baya dengan mata curiga dan suara setengah berbisik—menyerahkan kunci dengan tangan keriputnya.
“Jangan terlalu dipikirkan suara-suara malam” ucapnya, setengah berbisik.
Aku mengernyit. “Maksud Ibu?”
“Pipa airnya kadang bunyi sendiri. Kipas angin di loteng juga suka hidup-mati sendiri” katanya enteng. “Tapi aman, kok. Tidak pernah ada keluhan besar”
Aku tidak menanggapi. Aku bukan orang yang percaya hantu. Menurutku, kebanyakan ‘suara-suara’ hanyalah produk imajinasi manusia kesepian. Dan aku bukan tipe sentimental seperti itu. Hari pertama berlalu biasa. Aku menata barang-barang, menyambungkan Wi-Fi, lalu tertidur karena lelah. Tapi malam itu, aku terbangun sekitar pukul dua dini hari. Ada suara seperti benda berat digeser. Bukan dari dalam kamar. Dari kamar sebelah.
Kamar 305. Aku duduk di ranjang. Suaranya cukup jelas, kursi ditarik. Lalu langkah kaki, pelan, satu per satu. Aku tahu aku tidak salah dengar. Tapi ketika aku menempelkan telinga ke dinding pembatas, hanya sunyi yang terdengar.
Keesokan malamnya, suara itu datang lagi. Kali ini lebih lama. Seperti seseorang berjalan mondar-mandir sambil menarik kursi. Dan lebih dari itu, aku mendengar bisikan. Seolah ada seseorang yang berbicara kepada dirinya sendiri, sangat pelan, seperti gumaman panik yang tak beraturan. Aku tidak mengerti bahasanya. Entah itu bahasa asing atau hanya potongan kata dari seseorang yang kacau. Pagi harinya, aku bertanya pada penjaga kebersihan, seorang bapak tua yang biasa menyapu lorong dengan sapu lidi.
“Pak, kamar sebelah 304, yaitu 305 itu masih ada penghuninya?”
Dia berhenti menyapu. Ekspresinya berubah canggung. “305? Tidak ada. Sudah kosong sejak lama”
“Berapa lama?”
“Dua tahun, sepertinya. Dulu ditempati perempuan. Hidupnya tertutup, jarang keluar kamar”
“Lalu?”
“Ya katanya, dia meninggal” katanya lirih. “Gantung diri di kamar itu”
Darahku terasa membeku sejenak. Aku mencoba tertawa kecil untuk mengusir rasa aneh yang menjalar ke tengkuk.
“Tapi saya dengar suara dari sana. Setiap malam pak”
Si bapak diam lama. “Mas mendingan jangan di dengarkan. Kadang suara itu datang karena tempat ini memang tua. Jangan pikir yang aneh-aneh”
Aku mengangguk pelan. Tapi malam berikutnya, suara itu semakin jelas. Bukan lagi sekadar langkah atau gesekan kursi. Tapi tangisan. Lirih, seperti seseorang mencoba tidak terdengar tapi tidak kuat menahan perih. Aku duduk di ranjang dalam kegelapan. Menatap dinding pembatas. Perlahan, aku mulai melihat sesuatu. Bayangan.
Bayangan perempuan duduk memeluk lutut. Rambutnya panjang, menutupi wajah. Ia tak bergerak, tapi bayangannya perlahan mengabur, seperti asap yang tertiup angin. Aku menutup mata rapat-rapat dan mencoba tidur. Tapi malam itu aku bermimpi, lorong apartemen yang tak berujung, suara tangisan dari setiap pintu, dan sebuah surat lusuh yang terus muncul di tanganku bertuliskan:
“Tolong temani aku. Aku kesepian”
Aku terbangun dengan keringat dingin. Nafasku berat, seolah paru-paruku dicekik rasa takut yang tak berwujud. Saat menatap jendela yang menghadap tembok bangunan sebelah, aku bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya tinggal bersamaku di sini?
Tiga hari kemudian, aku sengaja berangkat kerja lebih pagi demi menghindari malam. Tapi siang itu, saat makan siang di kantor, seorang rekan kerja, Alia, menatapku heran.
“Kau kenapa, sih? Wajah pucat. Seolah belum tidur seminggu”
Aku ingin menjawab seadanya, tapi akhirnya aku menceritakan sedikit—tentang suara, bayangan, bahkan bisikan.
Alia memandang serius. “Kalau kamu sudah mulai melihat hal-hal kayak gitu, artinya ada sesuatu yang belum selesai”
Aku mengangkat alis. “Kamu percaya hal seperti itu?”
“Aku punya sepupu yang pernah ngalamin. Tinggal di rumah bekas bunuh diri juga. Kadang mereka Cuma ingin didengar”
Perkataannya menancap di pikiranku sepanjang hari. Mungkin benar, aku terlalu cepat menolak sesuatu hanya karena tak bisa dijelaskan logika. Mungkin ada luka yang terlalu dalam hingga enggan pergi begitu saja. Malam itu, aku melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, aku bicara pada dinding.
“Halo? Kalau kamu bisa dengar, aku nggak tahu kamu siapa. Tapi aku di sini. Kamu tidak sendiri”
Tidak ada balasan. Tapi ketika aku membuka mata, kulihat secarik kertas di bawah pintu kamar 305. Tanganku gemetar saat mengambilnya. Surat tangan, tinta samar, dan kertasnya lembap seperti sudah lama tersimpan.
“Terima kasih. Aku ingin bercerita”
Hari-hari berikutnya, aku menerima lebih banyak catatan dari bawah pintu. Surat-surat pendek, ditulis dengan tulisan tangan kecil dan bergetar. Isinya menusuk.
“Dulu aku punya seorang teman. Tapi dia pindah. Lalu tak ada lagi yang bicara padaku”
“Hari-hariku kosong. Aku bangun, duduk, menangis, tidur. Aku berhenti makan. Aku berhenti berharap”
“Suara di kepala bilang aku tidak cukup baik. Aku tidak layak dicintai”
“Lalu aku mengikatkan tali di langit-langit kamar”
Aku tak bisa membalas. Tapi tiap malam aku duduk di depan dinding, hanya mendengarkan. Menyediakan telinga bagi kisah yang tak sempat dituturkan semasa hidup. Malam itu, aku mendengar suaranya. Kali ini jelas. Suara seorang perempuan, lembut dan rapuh, seperti angin yang menyelusup dari celah pintu.
“Terima kasih sudah tidak mengabaikanku”
Ada jeda hening yang panjang. Lalu suara itu menghilang, seolah dibawa angin malam.
Aku tidak tahu apakah semua ini benar-benar terjadi atau sekadar khayalan akibat kurang tidur. Tapi sejak malam itu, suara-suara itu reda. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada lagi isak. Tak ada lagi bayangan di dinding. Malam-malamku kembali sunyi—tapi bukan kehampaan yang sama. Sunyi itu kini membawa rasa damai yang aneh.
Namun sesuatu dalam diriku berubah. Aku mulai bertanya, berapa banyak orang di sekitarku yang hidup dalam keheningan? Yang ingin bicara, tapi tak ada yang mau mendengar? Dunia terlalu sibuk. Kesepian menjelma menjadi hantu yang tak kasatmata. Sebelum aku pindah, aku meninggalkan satu surat terakhir di bawah pintu 305. Surat singkat tapi tulus.
“Kamu tidak dilupakan. Aku dengar ceritamu. Aku akan mengingatmu”
Dan untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di sana, saat aku menutup koper dan melangkah keluar, aku melihat pintu kamar 305 perlahan terbuka lalu tertutup kembali, pelan. Seolah mengucapkan selamat tinggal. Aku tak menoleh. Tapi saat menuruni lorong sempit itu untuk terakhir kalinya, aku merasa langkahku lebih ringan. Seolah satu jiwa akhirnya menemukan jalan pulang.
Dan aku akhirnya mengerti bahwa kadang, mendengarkan adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan sesuatu yang nyaris hilang—termasuk kemanusiaan kita sendiri.