Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Desa Wanaraja seperti desa-desa kecil lainnya, sunyi, dikelilingi hutan dan ladang, dan menyimpan cerita yang tak semua orang mau percaya. Namun satu hal yang membuatnya berbeda adalah pohon besar yang berdiri sendiri di tengah padang rumput kering di sisi barat desa. Akar-akarnya keluar dari tanah seperti tangan yang ingin menggenggam langit, dan daunnya tidak pernah berubah warna, seakan waktu tak berani menyentuhnya.
Dara berdiri menatap pohon itu untuk pertama kalinya saat baru seminggu pindah ke desa ini. Usianya dua belas tahun, rambutnya dikepang rapi oleh ibunya setiap pagi, dan matanya menyimpan kerinduan yang belum sepenuhnya ia mengerti.
Saat mereka mengobrol dengan warga sekitar dan juga dengan tetua desa, Dara bertanya apakah pohon tua itu bisa dikunjungi, karena dia amat sangat penasaran dengan pohon aneh itu. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya, seperti sesuatu penghubung yang ia tidak bisa lihat. Tapi tetua desa itu melarangnya kesana.
“Kau tak boleh ke sana” ujar Pak Wira, tetua desa yang tinggal tak jauh dari rumahnya. “Pohon itu menyimpan sesuatu yang sebaiknya tak dibangkitkan”
Dara hanya mengangguk, meskipun pikirannya tidak berhenti memutar pertanyaan. Apa yang bisa disembunyikan oleh sebatang pohon? Pohon itu pun tidak menyeramkan, jadi untuk apa menjauhi nya? Banyak pertanyaan yang ada di kepala Dara, namun dia menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Pindah ke desa ini bukan pilihan Dara. Ibunya kehilangan pekerjaan di kota setelah ayah Dara meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan kerja. Hidup mereka menipis seperti lembaran kertas tua, dan rumah warisan nenek di Wanaraja menjadi satu-satunya tempat yang bisa mereka tuju. Tidak ada tujuan lain, tidak ada tempat lain yang bisa menerima mereka selain di desa itu.
Namun sejak tiba, ibunya seperti orang lain. Diam, cepat lelah, dan sering mengurung diri di kamar. Dara kesepian. Ia rindu tawa ibunya, rindu dongeng-dongeng yang dulu selalu diceritakan sebelum tidur. Malam itu, hujan turun deras. Dara bermimpi, tapi terasa begitu nyata. Dalam mimpi, ia berdiri di depan pohon di tengah padang. Awan kelabu menggulung langit, tapi pohon itu bersinar lembut, seolah menariknya untuk mendekat.
“Jangan biarkan aku sendiri lagi” bisik pohon itu. Suaranya tidak datang dari luar, tapi langsung menembus ke dalam kepalanya.
Dara terbangun dengan keringat dingin. Angin menerpa jendela kamarnya. Ia mengira itu hanya mimpi aneh. Tapi keesokan paginya, saat ia melewati jalan setapak di belakang rumah, ia melihatnya, sebuah boneka kecil dari kayu, berlumut tapi utuh. Ia tau itu bonekanya yang hilang bertahun lalu, saat ia masih kecil tepat sebelum ayahnya meninggal.
Dara tidak bisa menahan diri. Malam harinya, saat ibunya tertidur, ia berjalan pelan-pelan ke padang rumput. Tanah becek menempel di sandalnya, tapi ia tidak peduli. Ia berjalan dengan berani melewati jalanan yang gelap dan hanya bulan purnama menerangi jalannya, dan pohon itu berdiri seperti penjaga tua yang telah lelah menunggu. Ia duduk di bawah pohon dan menatap batangnya yang lebar, lalu berkata, “Apa kau yang membawakan bonekaku?”
Tidak ada angin. Tidak ada jawaban. Hanya hening yang begitu padat, seolah malam itu sendiri sedang menahan napas. Namun setelah beberapa saat, ranting pohon bergerak, perlahan, seakan menyapa.
“Kau datang” bisik suara itu lagi. Lembut, lelah, dan sangat manusiawi, seperti ada kehangatan dalam suara itu.
“Apa maksudmu?” tanya Dara.
“Aku menyimpan kenangan. Yang orang-orang buang. Yang mereka anggap menyakitkan”
Dara diam setelah mendengarnya.
“Kau kehilangan ayahmu. Tapi sebelum itu, kau kehilangan sesuatu yang lebih dulu” lanjut suara itu. “Kau hanya tidak ingat”
“Siapa kamu?” tanya Dara, bergetar.
“Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah tempat di mana rasa sakit tidak sempat disembuhkan. Di mana yang ditinggalkan tetap menunggu”
Sejak malam itu, Dara sering kembali ke sana. Setiap malam, pohon itu berbicara padanya. Tentang masa lalu desa. Tentang anak-anak yang dulu hilang, lalu tiba-tiba kembali, tapi berubah. Tentang wanita muda yang pernah menggantung diri di cabang tertinggi pohon itu. Tentang ibunya, yang dulu juga pernah berlari ke pohon itu sambil menangis, jauh sebelum Dara lahir. Satu malam, pohon itu berbisik lebih pelan dari biasanya.
“Ayahmu pernah datang ke sini. Malam sebelum kecelakaan itu. Ia menyimpan rahasia. Kau harus tau”
Dara gemetar. “Rahasia apa?”
Namun suara itu tidak menjawab. Hanya ranting yang kembali diam. Keesokan harinya, Dara memberanikan diri bertanya pada ibunya. “Bu, pernah ke pohon di padang?”
Ibunya terdiam. Tangannya yang sedang mencuci piring berhenti di tengah gerakan. “Kenapa kamu tanya begitu?” suaranya pelan, tapi tegang.
“Aku hanya penasaran. Orang-orang bilang pohon itu aneh”
Ibunya menatapnya tajam. “Kau jangan sekali pun ke sana, Dara. Dengar? Jangan” Suaranya berubah menjadi marah, mata berkaca-kaca. “Pohon itu hanya bawa celaka”
Dara menunduk, tapi di dalam hatinya, pertanyaan justru bertambah. Malam berikutnya, Dara membawa foto lama ayahnya ke pohon. Ia duduk, meletakkannya di akar yang lebar, dan berkata, “Aku ingin tau”, angin tiba-tiba berhembus lebih kencang. Daun-daun bergoyang, dan suara pohon muncul kembali, lebih berat, lebih dalam.
“Ayahmu tau bahwa kau pernah hampir meninggal waktu kecil. Terjatuh ke sungai, hanyut”
Dara mengerutkan kening. Ia tidak ingat apa-apa tentang itu.
“Ibumu tidak sempat menyelamatkanmu. Tapi seseorang atau sesuatu mengangkatmu ke daratan. Ia membuat perjanjian dengannya”
“Perjanjian?” bisik Dara.
“Jiwa untuk jiwa. Kau hidup. Tapi sejak itu, satu jiwa di keluarga harus kembali. Ayahmu menyerahkan dirinya. Itulah sebabnya dia datang malam itu. Untuk pamit”
Dara tak bisa berkata apa-apa. Air mata mengalir di pipinya. Dunia di sekelilingnya mendadak terasa berbeda. Kenyataan berubah. Ia tidak tau apakah harus percaya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tau semua itu benar.
Pohon itu diam selama berhari-hari setelahnya dan Dara tidak kembali ke sana. Ibunya mulai berbicara lagi, perlahan. Mereka mulai tertawa sedikit. Tapi setiap malam, saat Dara melihat ke arah barat, pohon itu berdiri diam, seolah menunggu. Suatu malam, Dara menulis surat, dan menguburnya di bawah akar pohon. Ia tidak meminta keajaiban. Ia hanya berterima kasih.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dara bermimpi tentang ayahnya. Ia berdiri di bawah pohon, tersenyum, dan mengangguk. Langit di atasnya bersih. Tidak ada awan. Hanya cahaya bulan yang mengalir pelan.
Sejak hari itu, orang-orang bilang pohon di tengah padang mulai berubah. Daunnya tidak lagi segelap biasanya. Beberapa bunga tumbuh di sekeliling akarnya. Anak-anak desa mulai berani mendekat, dan pohon itu tak lagi menakutkan. Tapi hanya Dara yang tau, pohon itu bukan hanya tempat. Ia adalah saksi. Ia adalah pengingat. Bahwa setiap jiwa yang ditinggalkan, tetap memiliki tempat untuk kembali.