Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Langit sore itu kelabu. Awan menggantung rendah, seolah menyimpan kisah yang belum sempat tumpah. Di jendela kamar yang buram oleh embun, aku duduk bersandar, menatap tetesan air yang mulai menari di atas genteng—pelan, lalu deras, seolah terburu oleh sesuatu yang tak kuketahui.
“Apa kau mendengarku, hujan?” gumamku pelan.
Tak ada yang menjawab, selain suara rintik yang menggesekkan jendela, dan desir angin yang menyusup lewat celah tirai. Tapi entah mengapa, aku merasa… iya. Ia mendengar.
Sudah sejak lama aku merasa hujan menyimpan sesuatu untukku. Bukan rahasia besar, bukan pula jawaban dari pertanyaan-pertanyaan pelik tentang hidup. Tetapi lebih seperti… bisikan. Sebentuk kehadiran yang tak pernah benar-benar pergi.
Aku bangkit, berjalan menuju beranda. Uap tipis naik dari cangkir teh yang kutinggalkan sejam lalu, dan aroma kayu basah menyambutku begitu kaki menapak ubin dingin. Di sana, berdiri dalam diam, aku membiarkan hujan membasahi kulitku.
Sesekali aku menoleh ke jalan setapak di depan rumah. Masih kosong. Tak ada langkah kaki yang kutunggu, tak ada suara sepeda yang dulu begitu akrab di telingaku. Hanya bayangan. Dan kenangan.
“Kau ingat, kan, hari itu juga hujan?” tanyaku lirih, kali ini kepada seseorang yang tak hadir. “Kau berdiri di sini… memakai jaket abu-abu dan sepatu yang basah karena kau lupa bawa payung. Wajahmu kesal, tapi matamu tertawa.”
Aku menutup mata, membiarkan kilasan itu kembali. Senyum lebar itu, caramu menyeka rambut yang menempel di dahimu, dan kalimat yang kau ucapkan saat pertama kali kita berteduh bersama.
“Kalau hidup seperti hujan, mungkin kita tak akan pernah benar-benar kering dari rindu.”
Aku tertawa pahit mengingatnya. Dulu kalimat itu terdengar lucu. Kini, rasanya seperti kutukan.
“Hujan membawamu datang,” bisikku, “tapi juga membawamu pergi.”
Angin meniup helai rambutku, dan untuk sesaat, aroma tubuhmu seperti ikut menumpang di antara bau tanah dan daun basah. Aku membuka mata, jantungku berdetak lebih cepat—padahal aku tahu, itu hanya imajinasi. Harapan kosong yang enggan mati.
Telepon genggamku bergetar di atas meja kayu. Sebuah pesan masuk, singkat.
“Masih suka hujan?”
Jemariku gemetar. Aku membaca pesan itu dua kali, tiga kali, hingga suara hujan seolah lenyap oleh degup jantungku sendiri.
Tak ada nama, tak ada nomor yang tersimpan. Tapi aku tahu. Aku tahu siapa pengirimnya.
Kupijit balasan, jari-jari berhenti di tengah kalimat. Haruskah aku menjawab? Haruskah aku membuka kembali pintu yang telah kututup rapat sejak tiga tahun lalu?
Aku menunduk, menatap tanah yang mulai menggenang. Kilat menyambar jauh di barat, dan sesaat kemudian, guntur menggema seperti suara takdir yang berteriak dari kejauhan.
Hujan masih turun.
“Aku tidak pernah benar-benar membencimu,” kataku pada udara. “Tapi aku marah karena kau memilih diam. Karena kau pergi tanpa alasan. Karena kau meninggalkanku saat aku paling butuh penjelasan.”
Aku memandangi layar yang masih menyala. Tanganku bergerak. Kali ini mantap.
“Masih. Karena hujan mengerti apa yang manusia sering kali lupa: tak semua luka harus terlihat agar bisa terasa.”
Pesan terkirim. Entah apa yang kuharapkan. Mungkin balasan. Mungkin penyesalan. Atau mungkin, aku hanya ingin tahu… bahwa ia pun masih mengingatku saat hujan jatuh seperti sekarang.
Beberapa menit berlalu. Tak ada balasan.
Aku duduk kembali, menyandarkan kepala ke tiang kayu beranda. Dan saat itu, suara langkah terdengar. Pelan, teratur. Seseorang menembus hujan, mendekat dari arah jalan kecil yang basah. Aku tak bergerak, hanya memandangi sosok itu mendekat—membawa kenangan dan luka yang pernah kuhindari.
Ia berhenti beberapa meter dariku. Matanya menatap dalam, tapi ragu. Jaket abu-abu. Sepatu yang kuyup. Sama seperti hari itu.
Aku bangkit perlahan. “Kenapa sekarang?”
Ia menunduk. “Karena aku pengecut. Dan karena aku tak bisa lagi bersembunyi dari hujan yang terus menyebut namamu.”
Aku nyaris tertawa, tapi tak ada suara yang keluar. “Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, Raka.”
“Aku tahu.”
“Hidupku sudah berjalan tanpa kau di dalamnya.”
“Aku tahu.”
Aku memandangnya lama. Hujan terus turun, membasahi rambutku, wajahku, bahkan hatiku yang pernah mengering karena kepergiannya.
“Kalau kau hanya datang untuk menyapa masa lalu, aku akan kembali masuk ke dalam dan kau bisa pergi lagi.”
Ia mendekat satu langkah. “Tidak. Aku datang untuk tinggal. Jika kau izinkan.”
Sunyi menggantung di antara kami. Di belakangnya, langit mulai merekah sedikit terang, meski hujan belum reda. Aku mengingat segala sakit, tangis, dan hari-hari panjang tanpa kabar darinya. Tetapi aku juga mengingat tawa, malam-malam berbagi cerita, dan caranya menyentuh bahuku saat aku terlalu takut menghadapi dunia.
“Aku tidak bisa percaya secepat itu,” ucapku.
“Aku tidak minta dipercaya sekarang. Aku hanya ingin… kesempatan.”
Aku menunduk, menggigit bibir. Rasanya seluruh perasaanku menjadi hujan itu sendiri—tak tahu arah, tapi terus jatuh.
Akhirnya, aku menepi. Memberi ruang. “Masuklah. Sebelum kau kedinginan.”
Ia menatapku, dan senyuman itu kembali muncul. Hangat, seperti secangkir teh yang dibiarkan menunggu terlalu lama tapi tak kehilangan rasa.
Langkahnya menyusulku masuk ke dalam rumah yang sunyi.
Di dalam, kami duduk berhadapan di ruang tamu. Aku menuangkan teh untuknya. Tangannya menggigil, entah karena dingin atau gugup. Ia memandang cangkir di depannya seolah menyusun kata.
“Kenapa kau menghilang, Raka?” tanyaku akhirnya. Suaraku datar, tapi bergetar di ujungnya.
Ia menarik napas panjang. “Ibuku sakit keras saat itu. Aku harus pindah ke luar kota mendadak untuk mengurusnya. Aku… aku tak tahu cara mengatakannya padamu tanpa menyakitimu.”
“Itu bukan alasan untuk diam. Aku menunggu penjelasan. Menunggu kabar, sekecil apapun.”
“Aku salah. Aku tahu.” Ia menatapku dengan mata yang berkaca. “Aku terlalu takut melihatmu kecewa. Jadi aku memilih pergi, berharap waktu akan meredam semuanya.”
“Dan kau pikir waktu cukup untuk menghapus luka yang kau tinggalkan?”
Ia menggeleng pelan. “Tidak. Tapi aku berharap… waktu cukup untuk membuatmu melihat bahwa aku menyesal.”
Sunyi kembali melanda. Di luar, hujan masih turun, tak lagi seganas tadi, tapi cukup untuk terus mengisi kekosongan di antara kata-kata kami.
“Aku butuh waktu,” ujarku akhirnya. “Aku tidak tahu apakah yang tersisa ini bisa kembali utuh. Tapi aku tahu, aku tak ingin terus dihantui rasa penasaran.
Ia mengangguk. “Aku tidak minta kau mengulang dari awal. Aku hanya ingin… menjadi seseorang yang bisa kau percaya lagi, walau perlahan.”
Aku mengamati wajahnya. Ada garis-garis yang tak ada tiga tahun lalu. Sorot mata yang lebih lelah, namun jujur. Mungkin, memang kita tumbuh dengan cara yang berbeda—terluka, terpisah, lalu mencoba kembali saling mengenal.
“Kita lihat saja ke mana hujan membawa kita,” kataku akhirnya.
Ia tertawa pelan. “Dulu kau benci kalimat-kalimat dramatis macam itu.”
“Aku masih benci. Tapi sekarang aku mengerti kenapa orang mengatakannya.”
Kami saling menatap. Tak ada janji. Tak ada pelukan air mata seperti di film-film. Hanya dua orang yang pernah saling menyayangi, mencoba saling menemukan lagi di antara luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, aku berkata pada diriku sendiri:
“Mungkin hujan memang selalu menyebut namamu. Tapi kini, ia juga mengajarkanku memaafkan.”