Senja Di Kala Itu

by
Senja Di Kala Itu
Senja Di Kala Itu

Karya : A. Adinda Bella Pratiwi

Langit sore itu berwarna jingga keemasan, seperti kanvas yang dilukis tangan Tuhan dengan kelembutan tak terbantahkan. Cahaya matahari menyelinap pelan di antara sela-sela awan tipis, memantul tenang di atas permukaan danau yang seperti cermin. Airnya nyaris tak bergelombang, hanya sesekali beriak kecil saat angin sore menyentuhnya. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi rumput liar, membawa nostalgia yang tak kasat mata.

Di tepi danau itu, duduk seorang gadis bernama Raya. Ia tampak menyatu dengan suasana, seolah dirinya bagian dari pemandangan itu sendiri. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai, terangkat pelan tertiup angin. Tubuhnya dibalut jaket krem yang sudah mulai kehilangan kehangatan karena waktu, namun ia tetap diam, tak terganggu. Di pangkuannya terbuka sebuah buku catatan berwarna coklat lusuh, halamannya masih kosong, hanya tertahan oleh jari-jarinya yang menggenggam erat.

Tak satu pun kata tertulis sore itu. Padahal biasanya, danau ini adalah tempat ia menulis. Tempat ia merangkai puisi, menyusun paragraf kenangan, atau sekadar menuangkan isi hati yang tak pernah bisa ia bagi pada siapa pun. Tapi hari itu berbeda. Pandangannya terpaku pada horizon, mengikuti perubahan warna langit yang seolah menyimpan jawaban dari segala pertanyaan yang selama ini ia pendam.

Danau ini bukan tempat biasa baginya. Bukan hanya sekadar ruang untuk sendiri. Ini adalah tempat di mana dulu ia dan Nathan biasa datang sepulang sekolah. Tempat mereka berbicara tanpa tekanan, tertawa tanpa alasan, dan saling berbagi tanpa takut dihakimi.

Hari ini, ia datang tanpa tahu kenapa. Mungkin hanya karena dadanya terasa penuh. Atau mungkin, karena hatinya ingin bicara tanpa harus bersuara.

Suara langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Awalnya ia tak menggubris. Mungkin hanya pengunjung lain. Tapi langkah itu berhenti beberapa meter di belakangnya. Lalu ada diam. Diam yang cukup panjang untuk membuatnya menoleh.

Seorang lelaki berdiri di sana. Tubuhnya tinggi, posturnya lebih tegap dari ingatannya. Ia mengenakan jaket abu-abu yang sedikit kebesaran dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi meski sebagian wajahnya tertutup, Raya tahu siapa dia.

Matanya tidak pernah lupa tatapan itu.

“Nathan?” suaranya nyaris tak terdengar, seperti sekadar bisikan angin.

 

Nathan menarik napas sebelum tersenyum kecil, senyum yang dulu sering membuat Raya lupa caranya marah. Ia berjalan pelan mendekat, lalu berhenti di samping bangku kayu.

“Boleh duduk?” tanyanya pelan, nada suaranya rendah tapi tetap hangat, seperti musim gugur yang menolak pergi.

Raya mengangguk tanpa kata, lalu bergeser sedikit memberi ruang. Jarak di antara mereka terjaga. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa masih ada luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Mereka duduk dalam diam cukup lama. Hanya suara angin, gemericik air, dan sesekali kicau burung petang yang mengisi sela. Tapi keheningan itu tak canggung. Justru menenangkan. Seperti dua jiwa yang tahu bagaimana cara saling diam bersama.

“Senja yang indah,” ucap Nathan akhirnya, memecah keheningan.

Raya menunduk sedikit, kemudian mengangguk. “Selalu indah,” sahutnya dengan suara pelan. “Tapi juga selalu terasa sedih.”

Nathan menoleh, keningnya sedikit berkerut. “Kenapa sedih?”

Raya menarik napas panjang, matanya tak lepas dari langit. “Karena senja itu… seperti perpisahan yang manis. Ia tahu ia harus pergi, tapi tetap membuat segalanya terlihat indah. Dan pada akhirnya, ia menghilang. Sama seperti orang-orang yang kita cintai tapi harus kita lepaskan.”

Nathan tidak segera menjawab. Ia membuka saku jaketnya, mengeluarkan sesuatu—sebuah foto kecil. Sudutnya sudah mulai melengkung, warnanya sedikit pudar, tapi gambar di dalamnya masih jelas. Ia menyerahkannya pada Raya.

“Aku masih menyimpannya,” katanya pelan.

Raya mengambil foto itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Di sana, dirinya dan Nathan berdiri berdampingan, tertawa lepas dengan seragam sekolah. Latar belakangnya adalah danau ini, langit sore yang sama, dan senyum yang saat itu begitu tulus.

Ia masih ingat hari itu. Mereka bolos les tambahan, duduk berdua sambil makan es krim, dan berjanji akan terus kembali ke tempat ini, apapun yang terjadi.

“Kau membawanya selama ini?” tanyanya lirih.

Nathan mengangguk. “Kemanapun aku pergi. Bukan karena aku terjebak masa lalu, tapi karena aku ingin selalu ingat… bahwa pernah ada masa ketika semuanya sederhana dan benar.”

 

Raya terdiam. Ia menggenggam foto itu sejenak sebelum mengembalikannya dengan hati-hati. Jari-jarinya menyentuh jemari Nathan untuk sepersekian detik, dan sensasi itu membuat hatinya berdesir.

“Aku tidak menyangka kau akan datang ke sini,” ucap Raya, lebih sebagai pengakuan daripada pertanyaan.

“Aku juga tidak yakin,” jawab Nathan jujur. “Tapi entah kenapa… kakiku membawaku ke sini. Mungkin aku hanya ingin tahu… apakah kau masih ada di tempat yang sama.”

Raya tersenyum tipis, namun matanya tak seteduh senyum itu. “Kau menghilang, Nathan. Tanpa kabar. Tanpa penjelasan. Seolah semua yang pernah ada itu tidak penting.”

Nathan menunduk, menatap rerumputan di bawah kakinya. “Aku tahu. Dan aku menyesal. Tapi saat itu, aku merasa harus pergi.”

“Kenapa?” tanya Raya akhirnya, suaranya datar namun penuh rasa ingin tahu.

Nathan butuh waktu untuk menjawab. “Ayahku dipindahtugaskan tiba-tiba ke luar negeri. Kami pergi dalam waktu kurang dari seminggu. Aku mencoba menghubungimu, tapi… waktu itu aku pengecut. Aku takut kau akan membenciku karena pergi. Jadi aku memilih diam.”

Raya menggeleng pelan. “Yang membuatku kecewa bukan karena kau pergi, Nathan. Tapi karena kau pergi tanpa berpamitan.”

“Aku tahu,” balas Nathan pelan. “Dan aku tak datang hari ini untuk minta maaf saja. Aku datang… karena aku ingin jujur. Aku ingin tahu… apakah masih ada tempat untukku di hatimu.”

Raya menoleh, menatap langsung ke mata Nathan. Di sana, ia melihat kelelahan. Tapi juga ada ketulusan. Ada kerinduan yang tidak dipaksakan. Ada luka yang selama ini mereka bagi secara diam-diam, tanpa tahu bahwa keduanya sama-sama terluka.

“Aku tidak pernah mengusir siapa pun dari hatiku,” ucap Raya, suaranya tenang. “Yang pergi… pergi karena memilih pergi.”

Nathan mengangguk. “Dan aku di sini karena memilih kembali.”

Hening kembali tercipta. Tapi kali ini terasa berbeda. Seperti udara yang lebih hangat, meski matahari mulai tenggelam.

Langit berubah menjadi merah tua, hampir keungu-unguan. Matahari sudah setengah tenggelam. Di kejauhan, suara jangkrik mulai terdengar. Hari perlahan berganti malam.

 

Nathan menarik napas, lalu menatap Raya dengan tatapan penuh harap. “Boleh aku kembali?” tanyanya. “Bukan hanya ke tempat ini. Tapi ke dalam hidupmu.”

Raya menatapnya lama. Ia mencari kebohongan di balik kata-kata itu, tapi tak menemukannya. Yang ia temukan hanyalah seseorang yang ingin memperbaiki kesalahan, seseorang yang kembali bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk membangun sesuatu yang baru.

“Kalau kau kembali…” ucap Raya pelan namun mantap, “…jangan setengah hati. Dan jangan pernah pergi tanpa pamit lagi.”

Nathan mengangguk, matanya nyaris berkaca-kaca. “Aku tidak akan ke mana-mana lagi. Kalau kau izinkan, aku ingin tetap di sini. Denganmu.”

Raya tersenyum. Kali ini senyumnya bukan hanya dari bibir, tapi dari seluruh dirinya. Dari luka yang mulai pulih, dari harapan yang tumbuh kembali, dan dari hati yang mulai menerima.

Dan saat senja resmi berganti malam, dua hati yang dulu terpisah oleh waktu dan jarak, kini kembali duduk berdampingan—bukan hanya di bangku kayu tua itu, tapi di kehidupan yang baru.

Bukan untuk melanjutkan cerita yang lama, tapi untuk menulis bab baru.

Bersama.

No More Posts Available.

No more pages to load.