Karya : A. Adinda Bella Pratiwi
Langit Washington D.C. pagi itu cerah, seolah-olah dunia tak menyimpan rahasia apa pun. Gedung putih yang dipenuhi dengan rutinitas seperti biasa, para staf yang berjalan di setiap tempat dengan map di tangan dan ponsel yang menempel di telinga mereka. Tak ada yang menyangka bahwa dalam waktu 72 jam, kota ini akan menjadi rata sehingga siapapun dirinya tak akan bisa pergi dari sini, ia akan menjadi satu dengan mereka yang tidak mengetahui hal ini.
Elena Robium memandangi layar monitornya di ruang Emergency Response sembari memakan cemilan di meja nya. Semua grafik terlihat baik-baik saja, namun berselang beberapa detik kemudian, ada semua tanda merah yang berbyunyi keras. Satu demi satu grafik dan indikator geologis melonjak tak wajar. Email masuk dari NOAA—National Oceanic and Atmospheric Administration dari Dr. Daniel, kepala peramal cuaca dan analisis bencana. Pesan tersebut membuat Elena terbelalak saat membacanya.
“Rangkaian gempa terkecil hingga terbesar dari dasar laut telah membentuk pola spiral. Bersamaan dengan itu, tekanan atmosfer membentuk sebuah anomali di atas Atlantik. Kami mendeteksi kemungkinan kombinasi gempa besar, badai listrik ekstrem, dan potensi tsunami besar. Perkiraan terjadinya sekitar 72-96 jam dari sekarang”
Ia terdiam sebentar lalu berpikir, 3 atau 4 hari ke depan akan ada bencana dasyat yang ingin menghampiri kita. Tanpa membuang-buang waktu, Elena melompat dari kursinya dan mencetak gambar yang dikirimkan langsung oleh Daniel. Ia berlari dan langsung menuju ke lantai bawah gedung putih. Presiden Jonathan Aliander sedang berdiskusi dengan Menteri Luar Negeri mengenai pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan, namun Elena menerobos masuk kesana.
“Maaf mengganggu, Pak Presiden. Ini darurat, mohon anda luangkan waktu beberapa menit” ucapnya dengan sopan walaupun jantung nya berdetak tak karuan.
Jonathan menaikkan alis. “Apa lagi kali ini? Kau membuat masalah baru lagi, elena?” tanya presiden Jonathan.
“Saya baru menerima laporan dari NOAA. Indikator geologis dan atmosferik menunjukkan kemungkinan besar terjadinya bencana berantai. Gempa, badai listrik, hingga tsunami” ucap Elena dengan wajah yang tegang.
Presiden membaca cepat laporan itu, lalu mendengus kesal. Dia menganggap semua ini hanya candaan belaka dan melempar gambar yang di bawa oleh Elena.
“Elena, setiap dua minggu kau datang dengan prediksi bencana. Negara ini tidak bisa hidup dengan ketakutan terus-menerus. Saya tidak akan menyebarkan berita ini untuk membuat panik ke publik hanya karena grafik merah di monitormu. Saya memberi mu akses dan jabatan bukan untuk hal yang tidak berguna seperti ini” ucap Presiden Jonathan panjang lebar.
“Tapi Pak, Dr. Daniel sendiri yang—” ucapannya terpotong.
“Cukup. Tidak ada evakuasi. Tidak ada konferensi pers. Kembali ke mejamu dan kerjakan tugasmu yang sebenarnya, jika tidak aku akan menurunkan jabatanmu!”
Elena hanya menghela napas pasrah, di dalam hatinya ia mengutuk Presiden keras kepala itu. Setelah itu dia meninggalkan ruangan itu dengan lesu. Jika ia tidak bisa memberitahu seluruh warga dengan bantuan presiden, maka dia akan menyebarkan nya dengan media. Elena meraih ponselnya lalu menghubungi sahabatnya yang merupakan seorang wartawan, ia mengajak nya untuk bersiap siaga dan memperingatkan kepada orang lain untuk mengevakuasikan diri ke tempat yang aman.
Setelah informasi tersebut sampai, Lily—sahabat Elena memberitahukan ke tim nya untuk mengakses media berita Televisi di seluruh kota. Dengan bantuan timnya Lily, ia berhasil meretas akses untuk memberitakan apa yang akan terjadi nantinya. Untungnya tidak ada yang mengganggu dalam rencana ini, semuanya berjalan dengan lancar. Namun setelah berita itu disebar luaskan, tak ada satupun masyarakat yang percaya, mereka hanya mengatakan bahwa semua ini adalah simulasi yang diberikan oleh Presiden.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Keesokan harinya, tanah berguncang. Gempa 6,1 melanda dari Virginia hingga ke D.C. Gedung-gedung tua ambruk, dan jalan retak sepanjang jalan. Para staf mulai khawatir, tapi Presiden tetap bersikeras bahwa ini hanya “Gempa Biasa”. Tapi setelah Presiden mengetahui berita yang menyebar, ia memanggil Elena ke ruang kerja nya.
“Ini semua perbuatan mu kan? Saya sudah bilang, negara ini butuh kedamaian, simulasi yang mereka katakan ini sangat konyol. Jangan membuat candaan kekanak-kanakan, elena”
“Itu keputusan Bapak, tapi saya tetap akan pergi. Jika ingin memecat saya, silakan. Saya lebih mementingkan nyawa dibandingkan harga diri dan uang” Setelah mengucapkan hal itu, Elena pergi meninggalkan gedung putih bersama dengan beberapa temannya yang percaya akan situasi mendatang.
Di hari ketiga, awan hitam menutupi langit di siang hari. Kilatan petir menyambar tanpa henti, memicu kebakaran di jalanan. Hujan turun, tetapi bukan hujan biasa. Ia jatuh seperti peluru, memecahkan kaca seperti sebuah es.
Elena sudah tak bisa menunggu lagi, dia terus merasa ketakutan, jika ia tidak bertindak dengan cepat dan hanya menunggu kebijakan dari gedung putih, mungkin saja ia akan tertelan lebih dulu oleh tsunami. Lalu ia mencari ponselnya dan menghubungi Dr. Daniel.
“Aku akan ke NOAA. Aku tidak bisa duduk diam sementara orang-orang ini dibutakan oleh kekuasaan dan mementingkan dirinya sendiri” ujar nya dari balik telepon.
“Kami sudah siapkan ruangan evakuasi di atas gunung. Bawa siapa pun yang mau ikut, tapi hanya 5 orang saja”
“Jika saja kita memiliki lebih banyak pesawat, bisa saja kita mengangkut beberapa dari mereka, seperti anak kecil” ujar Elena.
Mendengar perkataan Elena, Dr. Daniel hanya menghela napas pasrah, dia benar-benar ingin menyelamatkan orang lain, tapi untuk dirinya sendiri saja sangat susah. Semuanya sudah ada yang mengatur, takdir pasti akan memberikan yang terbaik bagi mereka.
Elena hanya berhasil membawa tiga staf lainnya yang merupakan teman dekat Elena. Saat mereka benar-benar meninggalkan gedung putih, langit meledak. Petir menyambar tiang bendera hingga meleleh. Tanah berguncang lagi. Gedung putih mulai bergerak tidak karuan.
Mereka tiba di NOAA hanya beberapa menit sebelum ombak datang. Mereka bergegas memasuki pesawat yang di sediakan NOAA, hanya beberapa orang dari kantor tersebut yang ikut, dan yang lainnya akan tetap tinggal di lantai tertinggi NOAA. Dari jendela pesawat, mereka melihat dinding air setinggi gedung pencakar langit menghantam pantai timur. New York lenyap, Boston hanyut, jalanan Washington terendam, dan suara manusia tak terdengar lagi. Hanya suara ombak yang menyapu seluruh jalanan, tak ada yang tersisa, semuanya rata menjadi satu.
Elena meraih radio darurat di atas meja. Ia melihat Daniel duduk di sudut dengan wajahnya yang muram. Elena tau rasanya, ia juga ingin melindungi dan menyelamatkan orang lebih banyak lagi, namun mereka yang tak percaya pada alam, malah menantang bencana itu sendiri.
“Kita satu-satunya yang bertahan sejauh ini” ucap Daniel.
Elena mengangguk, lalu menekan tombol transmisi.
“Ini Elena Robium dari NOAA Emergency Shelter. Jika siapa pun mendengar ini, kami masih hidup. Dan kami belajar satu hal penting, jangan pernah menolak peringatan. Alam tidak menunggu untuk dipercaya” ujarnya pada radio di tangannya.
Setelah itu keheningan terasa menyelimuti mereka, tak ada yang terlihat. Hanya ada air dimana-mana, sama seperti bumi yang dahulu sebelum di huni oleh manusia. Semuanya benar-benar kembali seperti semula.